FIKIH ZAKAT
SARI
PENTING KITAB DR. YUSUF AL-QARADHAWY
PENDAHULUAN
Pemberdayaan ekonomi Ummat Islam melalui
pelaksanaan ibadah zakat masih banyak menemui hambatan yang bersumber terutama
dari kalangan Ummat Islam itu sendiri.
Kesadaran pelaksanaan zakat masih di kalangan Ummat Islam masih belum
diikuti dengan tingkat pemahaman yang memadai tentang ibadah yang satu ini,
khususnya jika diperbandingkan dengan ibadah wajib lainnya seperti sholat dan
puasa. Kurangnya pemahaman tentang jenis
harta yang wajib zakat dan mekanisme pembayaran yang dituntunkan oleh syariah
Islam menyebabkan pelaksanaan ibadah zakat menjadi sangat tergantung pada
masing-masing individu. Hal tersebut
pada gilirannya mempengaruhi perkembangan institusi zakat, yang seharusnya
memegang peranan penting dalam pembudayaan ibadah zakat secara kolektif agar
pelaksanaan ibadah harta ini menjadi lebih efektif dan efisien.
Tulisan ini merupakan ringkasan selektif
terhadap bab-bab dari kitab tersebut, yang sengaja dipilihkan untuk konsumsi
kalangan masyarakat yang bergerak disektor industri dan jasa. Tulisan ini, pada awalnya dipostingkan secara
berkala pada forum diskusi Isnet (Islamic Network), jaringan diskusi
Islam melalui jaringan internet, pada akhir 1993. Agar dapat lebih banyak pemanfaataannya maka
risalah kecil ini disusun sebagai langkah awal memahami zakat itu sendiri,
sekaligus untuk mendorong keinginan untuk mengkajnya lebih jauh melalui kitab
aslinya.
Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat,
hidayah dan inayah-Nya kepada beliau.
Dan semoga pula risalah ini bermanfaat bagi para pembaca sekalian dalam
rangka meningkatkan kualitas ibadah yang menjadikan kita semua sebagai
hamba-Nya yang bertaqwa, amiin.
Bogor, Mei 1997
Lukman Mohammad Baga
Surat Al-Lail
Bismillahirrahmanirrahiim
Sesunguhnya
usaha kamu memang berbeda‑beda
Adapun
orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa
dan
membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga)
maka
Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah
Dan
adapun orang)orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup,
serta
mendustakan pahala yang terbaik
maka
kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar
Dan
hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa
Surat ini merupakan surat‑surat
pertama Makiyyah, mengandung dua perumpamaan yang memberikan suatu isyarah akan
sikap Islam terhadap harta dan orang kaya; dan menjelaskan pula contoh akhlaq
yang diperintahkan Islam dan yang akan mendapatkan ridha Allah SWT.
Golongan pertama adalah golongan
yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertaqwa dan membenarkan adanya
pahala terbaik (syurga). Terhadap
golongan ini Allah memujinya dan menyiapkan baginya jalan yang mudah.
Jadi memberi adalah salah
satu sifat yang disejajarkan dengan taqwa dan membenarkan kalimat terbaik. Quran memutlakan sifatnya dengan memberi dan
tidak menyatakan apa yang diberikan, berapa yang diberikan dan macam
apa yang diberikan, karena maksud utamanya adalah jiwanya itu adalah jiwa
yang dermawan, mulia dan pemberi, bukannya jiwa yang hina dan tidak mau
memberi.
Jiwa pemberi adalah jiwa yang
bermanfaat dan jiwa yang baik, yang tabiatnya senantiasa mau berlaku baik dan
memberikan kebaikan kepada orang lain.
Ia memberikan yang terbaik, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain,
sehingga ia menyerupai sebuah sungai yang dimanfaatkan oleh manusia dengan
meminumnya dan untuk diberikan kepada hewan ternak dan tanaman. Demikian pula dengan orang yang penuh
keberkatan dimanfaatkan dimanapun ia berada, sehingga sebagai pembalasannya
terhadap jiwanya yang mudah memberi itu, Allah SWT akan memudahkan masuk ke
dalam syurga.
Sebagai tandingan golongan ini,
golongan yang dicela Allah dan memudahkannya masuk ke dalam neraka, karena ia
sifatnya bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan adanya pahala
terbaik (syurga). Inilah golongan yang
tercela karena kekikirannya terhadap hartanya dan menganggap dirinya cukup,
tidak memerlukan pertolongan Allah dan pertolongan manusia serta membohongkan
apa yang dijanjikan Allah SWT, yaitu akibat yang baik bagi orang‑orang yang
benar imannya.
Maka,
Allah memperingatkan dengan neraka yang menyala‑nyala,
Tidak
ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka,
Yang mendustkan kebenaran
dan berpaling dari iman.
Dan kelak akak dijauhkan
orang yang bertaqwa dari neraka itu.
Yang menafkahkan hartanya
di jalan Allah untuk membersihkannya,
Padahal tidak seorang pun
memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya.
Tetapi dia memberikan itu
itu semata‑mata karena mencari keridhaan Tuhannya
Yang Maha Tinggi.
Dan kelak dia benar‑benar
mendapat kepuasan.
ISLAM DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Perhatian Islam terhadap penanggulangan
kemiskinan dan fakir miskin tidak dapat diperbandingkan dengan agama samawi dan
aturan ciptaan manusia manapun, baik dari segi pengarahan maupun dari segi
pengaturan dan penerapan. Semenjak
fajarnya baru menyigsing di kota Mekkah, Islam sudah memperhatikan masalah
sosial penanggulangan kemiskinan.
Adakalanya Quran merumuskannya dengan kata-kata "memberi makan dan
mengajak memberi makan orang miskin" atau dengan "mengeluarkan
sebahagian rezeki yang diberikan Allah", "memberikan hak orang yang
meminta-meminta, miskin dan terlantar dalam perjalanan", "membayar zakat"
dan rumusan lainnya.
Memberi makan orang miskin yang meliputi juga
memberi pakaian, perumahan dan kebutuhan-kebuthan pokoknya adalah merupakan
realisasi dari keimananan seseorang (lihat surat Al Mudatsir, Al Haqqah). Quran tidak hanya menghimbau untuk
memperhatikan dan memberi makan orang miskin, dan mengancam bila mereka
dibiarkan terlunta-lunta, tetapi lebih dari itu membebani setiap orang Mu'min
mendorong pula orang lain memperhatikan orang-orang miskin dan menjatuhkan
hukuman kafir kepada orang-orang yang tidak mengerjakan kewajiban itu serta
pantas menerima hukuman Allah di akhirat.
Tangkap
dan borgol mereka, kemudian lemparkan ke dalam api neraka yang menyala-nyala,
dan belit dengan rantai tujuh puluh hasta !
Mengapa mereka dihukum dan disiksa secara terang-terangan itu? Oleh karena mereka ingkar kepada Allah yang
Maha Besar dan tidak menyuruh memberi makan orang-orang miskin. (QS 69:30-34)
Dalam
surat Al Fajr, Allah membentak orang-orang Jahiliah yang mengatakan bahwa agama
mereka justru untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan berasal dari nenek moyang
mereka, Ibrahim;
"Tidak,
tetapi kalian tidak tidak menghormati anak yatim dan tidak saling mendorong
memberi makan orang miskin. (QS
89:17-18)
Demikian
pula pada surat Al Maun dimana dikatakan; orang yang mengusir anak yatim dan
tidak mendorong memberi makan orang miskin" dikatakan sebagai orang yang
mendustakan agama. Orang yang tidak
pernah menghimbau orang lain untuk memberi makan orang miskin biasanya tidak
pernah pula memberi makan orang miskin tersebut. Tuhan mengungkapkan dalam bentuk sindiran
dengan tujuan apabila seseorang tidak mampu memenuhi harapan orang miskin, maka
ia harus meminta orang lain melakukannya.
Selanjutnya dalam surat Adz Dzariyat : 19-20 "Dalam
kekayaan mereka tersedia hak peminta-minta dan orang-orang yang hidup
berkekurangan"
Digambarkan
disini orang-orang yang bertaqwa adalah orang yang menyadarai sepenuhnya bahwa
kekayaan mereka bukanlah milik sendiri yang dapat mereka perlakukan semau
mereka, tetapi menyadari bahwa di dalamnya terdapat hak-hak orang lain yang
butuh. Dan hak itu bukan pula merupakan
hadiah atau sumbangan karena kemurahan hati mereka, tetapi sudah merupakan hak
orang-orang tsb. Penerima tidak bisa
merasa rendah dan pemberi tidak bisa merasa lebih tinggi. Lihat pula surat Al
Ma'arif (QS 70:19-25).
Ayat-ayat
di atas diturunkan di Makkah, sementara zakat diwajibkan di Madinah. Dengan demikian, sejak saat-saat awal kurun
Makkah, Islam telah menanamkan kesadaran di dalam dada orang-orang Islam bahwa
ada hak-hak orang yang berkekurangan dalam harta mereka. Hak yang harus dikeluarkan, tidak hanya
berupa sedekah sunnat yang mereka berikan atau tidak diberikan sekehendak mereka
sendiri. Kata zakat sendiri sudah digunakan
dalam ayat-ayat Makiyah seperti pada surat :
Ar Rum:38-39, An Naml:1-3, Luqman:4, Al Mu'minun:4, Al A'raf:156-157,
dan Fushshilat : 6-7. Walau Al Quran
sudah membicarakan zakat dalam ayat-ayat Makiah, namun demikian zakat itu
sendiri baru diwajibkan di Madinah.
Zakat yang turun dalam ayat-ayat Makiah tidak sama dengan zakat yang
diwajibkan di Madinah, dimana nisab dan besarnya sudah ditentukan, orang-orang
yang mengumpulkan dan membagikannya sudah diatur, dan negara bertanggung jawab
mengelolanya.
ZAKAT PADA PERIODE MADINAH
Berbeda
dengan ayat-ayat Al Qur'an yang turun di Makkah, ayat-ayat yang turun di
Madinah sudah menjelaskan bahwa zakat itu wajib dalam bentuk perintah yang
tegas dan instruksi pelaksanaan yang jelas.
Salah satu surat yang terakhir turun adalah surat At Taubah yang juga
merupakan salah satu surat dalam Quran yang menumpahkan perhatian besar pada
zakat. Coba kita perhatikan ayat-ayat
surat At Taubah di bawah ini yang tidak lepas dari masalah zakat :
a. Dalam
ayat permulaan surat itu Allah memrintahkan agar orang-orang musyrik yang
melanggar perjanjian damai itu dibunuh.
Tetapi jika mereka (1) bertaubat, (2) mendirikan shalat wajib, dan (3)
membayar zakat, maka berilah mereka kebebasan (QS 9:5).
b. Enam
ayat setelah ayat diatas Allah berfirman :"...jika mereka bertaubat,
mendirikan shalat dan membayar zakat, barulah mereka teman kalian
seagama...." (QS 9:11)
c. Allah
juga merestui orang-orang yang menyemarakan masjid; yaitu orang-orang yang
beriman kepada Allah dan hari kemudian, mendirikan sholat, membayar zakat (QS
9:18)
d. Allah
mengancam dengan azab yang pedih kepada orang-orang yang menimbun emas dan
perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah (QS 9:34-35)
e. Dalam
surat ini juga terdapat penjelasan tentang sasaran-sasaran penerima zakat, yang
sekaligus menampik orang-orang yang rakus yang ludahnya meleleh melihat
kekayaan zakat tanpa hak. (QS 9:60).
f. Allah
menjelaskan pula bahwa zakat merupakan salah satu institusi seorang Mu'min (QS
9:71) yang membedakannya dari orang munafik (yang menggenggam tangan
mereka/kikir, QS 9:67).
g. Allah
memberikan instruksi kepada Rasul-Nya dan semua orang yang bertugas memimpin
ummat setelah beliau untuk memungut zakat (QS 9:103)
Khuz
min amwalihim shadaqah....(Pungutlah zakat dari kekayaan mereka....).
Kata
"min" berarti sebagian dari harta, bukan seluruh
kekayaan.
Kata
"amwalihim" dalam bentuk jamak yang berarti : harta-harta
kekayaan mereka, yaitu meliputi berbagai jenis kekayaan.
Kata
shodaqah dalam ayat ini oleh kebanyakan ulama salaf maupun khalaf ditafsirkan
sebagai zakat dengan dasar hadits dan riwayat shahabat.
Kesimpulan
yang dapat ditarik berkaitan dengan zakat ini, bahwa seseorang: tanpa mengeluarkan
zakat
1.
belum dianggap sah masuk barisan orang-orang yang bertaqwa.
2.
tidak dapat dibedakan dari orang-orang musyrik
3.
tidak bisa dibedakan dengan orang-orang munafik yang kikir.
4.
tidak akan mendapatkan rahmat Allah (QS 7:156)
5.
tidak berhak mendapat pertolongan dari Allah, Rasulnya dan orang-orang
yang beriman (QS 5:55-56)
6.
tidak bisa memperoleh pembelaan dari Allah (QS 22:40-41)
ZAKAT DAN KEDUDUKANNYA DALAM ISLAM
Berdasarkan
sejumlah hadits dan laporan para shahabat, diketahui bahwa urutan rukun Islam
setelah shalat lima waktu (setelah Isra dan Mi'raj) adalah puasa (diwajibkan
pada tahun 2 H) yang bersamaan dengan zakat fitrah. Baru kemudian perintah diwajibkannya zakat kekayaan. Namun demikian Yusuf Al-Qaradhawy menegaskan
bahwa zakat adalah rukun Islam ketiga berdasarkan banyak hadits shahih,
misalnya hadits peristiwa Jibril ketika mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah
: "Apakah itu Islam ?" Nabi
menjawab :"Islam adalah mengikrarkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
dan Muhammad adalah RasulNya, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa pada
bulan Ramadhan, dan naik haji bagi yang mampu melaksanakannya" (Bukhari
Muslim)
Urutan
ini tidak terlepas dari pentingnya kewajiban zakat (setelah shalat), dipuji
orang yang melaksanakannya dan diancam orang yang meninggalkannya dengan
berbagai upaya dan cara.
Peringatan
keras terhadap orang yang tidak membayar zakat tidak hanya berupa hukuman yang
sangat pedih di akhirat (misalnya QS 9:34-35; 3:180, dan hadits shahih) juga
terdapat hukuman di dunia. Hadits shahih
menjelaskan bahwa :
·
Orang yang tidak mengeluarkan zakat akan ditimpa kelaparan dan kemarau
panjang
·
Bila zakat bercampur dengan kekayaan lain, maka kekayaan itu akan binasa
·
Pembangkang zakat dapat dihukum dengan denda bahkan dapat diperangi dan
dibunuh. Hal ini dilakukan oleh Abu
Bakar ketika setelah Rasulullah wafat dimana banyak suku Arab yang membangkang
tidak mau membayar zakat dan hanya mau mengerjakan sholat.
Pernyataan
Abu Bakar : "Demi Allah, saya akan memerangi siapapun yang
membeda-bedakan zakat dari shalat,...."
Berdasarkan
pembahasan diatas dapat dimengerti bahwa zakat adalah asasi sekali dalam Islam,
dan dapat dikatakan bahwa orang yang mengingkari zakat itu wajib adalah kafir
dan sudah keluar dari Islam (murtad).
Adapun
beberapa perbedaan mendasar antara zakat dalam Islam dengan zakat dalam
agama-agama lain menurut pengamatan Yusuf Al-Qaradhawy sbb :
1. Zakat
dalam Islam bukan sekedar suatu kebajikan yang tidak mengikat, tapi
merupakan salah satu fondamen Islam yang utama dan mutlak harus
dilaksanakan.
2. Zakat
dalam Islam adalah hak fakir miskin yang tersimpan dalam kekayaan orang kaya.
Hak itu ditetapkan oleh pemilik kekayaan yang sebenarnya, yaitu Allah SWT.
3. Zakat
merupakan "kewajiban yang sudah ditentukan" yang oleh agama
sudah ditetapkan nisab, besar, batas-batas, syarat-syarat waktu dan cara
pembayarannya.
4. Kewajiban
ini tidak diserahkan saja kepada kesediaan manusia, tetapi harus dipikul
tanggungjawab memungutnya dan mendistribusikannya oleh pemerintah.
5. Negara
berwenang menghukum siapa saja yang tidak membayar kewajibannya, baik berupa
denda, dan dapat dinyatakan perang atau dibunuh.
6. Bila
negara lalai menjalankan atau masyarakat segan melakukannya, maka bagaimanapun
zakat bagi seorang Muslim adalah ibadat untuk mendekatkan diri kepada Allah
serta membersihkan diri dan kekayaannya.
7. Penggunaan
zakat tidak diserahkan kepada penguasa atau pemuka agama (seperti dalam agama
Yahudi), tetapi harus dikeluarkan sesuai dengan sasaran-sasaran yang telah
ditetapkan Al Quran. Pengalaman
menunjukan bahwa yang terpenting bukanlah memungutnya tetapi adalah masalah
pendistribusiannya.
8. Zakat
bukan sekedar bantuan sewaktu-waktu kepada orang miskin untuk meringankan
penderitaannya, tapi bertujuan untuk menaggulangi kemiskinan, agar orang
miskin menjadi berkecukupan selama-lamanya, mencari pangkal penyebab kemiskinan
itu dan mengusahakan agar orang miskin itu mampu memperbaiki sendiri kehidupan
mereka.
9. Berdasarkan
sasaran-sasaran pengeluaran yang ditegaskan Quran dan Sunnah, zakat juga
mencakup tujuan spiritual, moral. sosial dan politik, dimana zakat dikeluarkan
buat orang-orang mualaf, budak-budak, orang yang berhutang, dan buat
perjuangan, dan dengan demikian lebih luas dan lebih jauh jangkauannya daripada
zakat dalam agama-agama lain.
Sebelum
membahas masalah jenis zakat yang wajib zakat, ada baiknya kalau kaji melompat
dulu ke pembahasan Bagian VI, yaitu: "Tujuan Zakat dan Dampaknya dalam
Kehidupan Pribadi dan Masyarakat.
Diharapkan dengan memahami tujuan-tujuan zakat ini, akan semakin
terangsanglah kita untuk lebih mengetahui masalah zakat ini dan tentu saja
untuk mengamalkannya. Tu;isan ini akan
mengupas dampak zakat dalam kehidupan pribadi, yang akan disambung dengan
dampak zakat dalam kehidupan bermasyarakat.
Tujuan
zakat dan dampaknya bagi pribadi dapat dipisahkan antara pribadi si PEMBERI dan
si PENERIMA.
Zakat
bukan bertujuan sekedar untuk memenuhi baitul maal dan menolong orang yang
lemah dari kejatuhan yang semakin parah.
Tapi tujuan utamanya adalah agar manusia lebih tinggi nilainya daripada
harta, sehingga manusi menjadi tuannya harta bukan menjadikan budaknya. Dengan demikian kepentingan tujuan zakat
terhadap si pemberi sama dengan kepentingannya terhadap si penerima.
Beberapa tujuan dan dampak zakat bagi si
PEMBERI adalah:
1. Zakat
mensucikan jiwa dari sifat kikir.
Zakat
yang dikeluarkan karena ketaatan pada Allah akan mensucikannya jiwa (9:103)
dari segala kotoran dan dosa, dan terutama kotornya sifat kikir.
Penyakit
kikir ini telah menjadi tabiat manusia (17:100; 70:19), yang juga diperingatkan
Rasulullah SAW sebagai penyakit yang dapat merusak manusia (HR Thabrani), dan
penyakit yang dapat memutuskan tali persaudaraan (HR Abu Daud dan
Nasai). Sehingga alangkah berbahagianya
orang yang bisa menghilangkan kekikiran.
"Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka
mereka itulah orang-orang yang beruntung" (59:9; 64:16).
Zakat
yang mensucikan dari sifat kikir ditentukan oleh kemurahannya dan kegembiraan
ketika mengeluarkan harta semata karena Allah.
Zakat yang mensucikan jiwa juga berfungsi membebaskan jiwa manusia dari
ketergantungan dan ketundukan terhadap harta benda dan dari kecelakaan
menyembah harta.
2. Zakat
mendidik berinfak dan memberi.
Berinfak
dan memberi adalah suatu akhlaq yang sangat dipuji dalam Al Qur'an, yang selalu
dikaitkan dengan keimanan dan ketaqwaan (2:1-3; 42:36-38; 3:134; 3:17;
51:15-19; 92:1-21)
Orang
yang terdidik untuk siap menginfakan harta sebagai bukti kasih sayang kepada
saudaranya dalam rangka kemaslahatan ummat, tentunya akan sangat jauh sekali
dari keinginan mengambil harta orang lain dengan merampas dan mencuri (juga
korupsi).
3. Berakhlaq
dengan Akhlaq Allah
Apabila
manusia telah suci dari kikir dan bakhil, dan sudah siap memberi dan berinfak,
maka ia telah mendekatkan akhlaqnya dengan Akhlaq Allah yang Maha Pengash, Maha
Penyayang dan Maha Pemberi.
4. Zakat
merupakan manifestasi syukur atas Nikmat Allah.
5. Zakat
mengobati hati dari cinta dunia.
Tnggelam
kepada kecintaan dunia dapat memalingkan jiwa dari kecintaan kepada Allah dan
ketakutan kepada akhirat. Adalah suatu lingkaran yang tak berujung; Usaha
mendapatkan harta ----> mendapatkan kekuasaan ----> mendapatkan kelezatan
----> lebih berusaha mendapatkan harta, dst.
Syariat Islam memutuskan lingkaran tsb dengan mewajibkan zakat, sehingga
terhalanglah nafsu dari lingkaran syetan itu.
Bila Allah mengaruniai harta dengan disertai ujian/fitnah (21:35; 64:15;
89:15) maka zakat melatih si Muslim untuk menandingi fitnah harta dan fitnah
dunia tsb.
6. Zakat
mengembangkan kekayaan bathin
Pengamalan
zakat mendorong manusia untuk menghilangkan egoisme, menghilangkan kelemahan
jiwanya, sebaliknya menimbulkan jiwa besar dan menyuburkan perasaan optimisme.
7. Zakat
menarik rasa simpati/cinta
Zakat
akan menimbulkan rasa cinta kasih orang-orang yang lemah dan miskin kepada
orang yang kaya. Zakat melunturkan rasa
iri dengki pada si miskin yang dapat mengancam si kaya dengan munculnya rasa
simpati dan doa ikhlas si miskin atas si kaya.
8. Zakat
mensucikan harta dari bercampurnya dengan hak orang lain (Tapi zakat tidak bisa
mensucikan harta yang diperoleh dengan jalan haram).
9. Zakat
mengembangkan dan memberkahkan harta.
Allah
akan menggantinya dengan berlipat ganda (34:39; 2:268; dll). Sehingga tidak ada rasa khawatir bahwa harta
akan berkurang dengan zakat.
Adapun tujuan dan dampak zakat
bagi si penerima:
1. Zakat
akan membebaskan si penerima dari kebutuhan, sehingga dapat merasa hidup
tentram dan dapat meningkatkan khusyu ibadat kepada Tuhannya.
Sesungguhnya
Islam membenci kefakiran dan menghendaki manusia meningkat dari memikirkan
kebutuhan materi saja kepada sesuatu yang lebih besar dan lebih pantas akan
nilai-nilai kemanusiaan yang mulia sebagai khalifah Allah di muka bumi.
2. Zakat
menghilangkan sifat dengki dan benci.
Sifat
hasad dan dengki akan menghancurkan keseimbangan pribadi, jasamani dan ruhaniah
seseorang. Sifat ini akan melemahkan
bahkan memandulkan produktifitas. Islam
tidak memerangi penyakit ini dengan semata-mata nasihat dan petunjuk, akan
tetapi mencoba mencabut akarnya dari masyarakat melalui mekanisme zakat, dan
menggantikannya dengan persaudaraan yang saling memperhatikan satu sama
lain.
Berikut
ini merupakan kelanjutan dari pembahasan "Tujuan Zakat dan Dampaknya"
yang kali ini difokuskan dalam kehidupan masyarakat.
Zakat
didasarkan pada delapan asnafnya yang tersebut dalam QS 9:60 memperjelas
kedudukan dan fungsinya dalam masyarakat yaitu terkait dengan :
1. Tanggung
jawab sosial (dalam hal penanggulangan kemiskinan, pemenuhan kebutuhan fisik
minimum (KFM), penyediaan lapangan kerja dan juga asuransi sosial (dalam hal
adanya bencana alam dll).
2. Perekonomian,
yaitu dengan mengalihkan harta yang tersimpan dan tidak produktif menjadi
beredar dan produktif di kalangan masyarakat.
Misalnya halnya harta anak yatim; "Usahakanlah harta anak yaitm itu
sehingga tidak habis oleh zakat" (Hadits).
3. Tegaknya
jiwa ummat, yaitu melalui tiga prinsip :
a. Menyempurnakan kemerdekaan setiap
individu (fi riqob)
b. Membangkitkan semangat beramal
sholih yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Misalnya berhutang demi
kemaslahatan masyarakat ditutupi oleh zakat.
c. Memelihara dan mempertahankan akidah
(fi sabilillah)
Beberapa
problematika masyarakat yang disorot oleh Yusuf Al-Qaradhawy dimana zakat
seharusnya dapat banyak berperan adalah sbb:
1. Problematika
Perbedaan Kaya-Miskin.
Zakat
bertujuan untuk meluaskan kaidah pemilikan dan memperbanyak jumlah pemilik
harta (..."Supaya harta itu jangan hanya berputar di antara orang-orang
kaya saja di antara kamu", QS 59:7).
Islam
mengakui adanya perbedaan pemilikan berdasarkan perbedaan kemampuan dan
kekuatan yang dimiliki manusia. Namun Islam tidak menghendaki adanya jurang
perbedaan yang semakin lebar, sebaliknya Islam mengatur agar perbedaan yang ada
mengantarkan masyarakat dalam kehidupan yang harmonis, yang kaya membantu yang
miskin dari segi harta, yang miskin membantu yang kaya dari segi lainnya.
2. Problematika
Meminta-minta.
Islam
mendidik ummatnya untuk tidak meminta-minta, dimana hal ini akan menjadi suatu
yang haram bila dijumpai si peminta tsb dalam kondisi berkecukupan (ukuran
cukup menurut hadits adalah mencukupi untuk makan pagi dan sore). Disisi lain Islam berusaha mengobati orang
yang meminta karena kebutuhan yang mendesak, yaitu dengan dua cara;
(1)
menyediakan lapangan pekerjaan,
alat dan ketrampilan bagi orang yang mampu bekerja,
dan
(2)
jaminan kehidupan bagi orang yang
tidak sanggup bekerja.
3. Problematika
Dengki dan Rusaknya Hubungan dengan Sesama.
Persaudaraan
adalah tujuan Islam yang asasi, dan setiap ada sengketa hendaknya ada yang
berusaha mendamaikan (49:9-10).
Rintangan dana dalam proses pendamaian tsb seharusnya dapat dibayarkan
melalui zakat, sehingga orang yang tidak kaya pun dapat berinisiatif sebagai
juru damai.
4. Problematika
Bencana
Orang
kaya pun suatu saat bisa menjadi fakir karena adanya bencana. Islam melalui mekanisme zakat seharusnya
memeberikan pengamanan bagi ummat yang terkena bencana (sistem asuransi Islam),
sehingga mereka dapat kembali pada suatu tingkat kehidupan yang layak.
5. Problematika
Membujang
Banyak
orang membujang dikarenakan ketidakmampuan dalam hal harta untuk menikah. Islam menganjurkan ummatnya berkawin yang
juga merupakan benteng kesucian.
Mekanisme zakat dapat berperan untuk memenuhi kebutuhan tsb.
6. Problematikan
Pengungsi
Rumah
tempat berteduh juga merupakan kebutuhan primer disamping makanan dan
pakaian. Zakat seharusnya menjadi unsur
penolong pertama dalam menangani masalah pengungsi ini.
Demikian
intisari pembahasan Tujuan Zakat dan Dampaknya dalam Kehidupan Pribadi dan
Masyarakat. Begitu banyak kemaslahatan
masyarakat yang bisa diwujudkan dengan harta zakat zakat, namun apa daya
pelaksanaan kewajiban zakat ini masih sangat minim di kalangan ummat Islam. Dua hal yang menyebabkannya : pertama, karena
ketidaktahuan ummat mengenai mekanisme zakat ini; dan yang kedua adalah
kelemahan ummat dalam mengelolanya.
Insya Allah, untuk lebih memelek-zakatkan kita dalam hal berzakat,
posting berikutnya akan menyangkut pembahasan "Kekayaan yang Wajib
Dizakati".
KEKAYAAN YANG WAJIB ZAKAT
Pengertian Kekayaan
Quran
tidak memberikan ketegasan tentang jenis kekayaan yang wajib zakat, dan
syarat-syarat apa yang mesti dipenuhi, dan berapa besar yang harus
dizakatkan. Persoalan tsb diserahkan
kepada Sunnah Nabi.
Memang terdapat beberapa jenis kekayaan yang
disebutkan Quran seperti: emas dan perak (9:34); tanaman dan buah-buahan
(6:141); penghasilan dari usaha yang baik (2:267); dan barang tambang
(2:267). Namun demikian, lebih daripada
itu Quran hanya merumuskannya dengan rumusan yanga umum yaitu "kekayaan"
("Pungutlah olehmu zakat dari kekayaan mereka,....." QS 9:103).
Kekayaan hanya bisa disebut kekayaan apabila
memenuhi dua syarat yaitu : dipunyai dan bisa diambil manfaatnya. Inilah definisi yang paling benar menurut
Yusuf Al-Qaradhawy dari beragam definisi yang dijumpai.
Terdapat 6 syarat untuk suatu kekayaan terkena
wajib zakat:
1. Milik penuh
2. Berkembang
3. Cukup senisab
4. Lebih dari kebutuhan biasa
5. Bebas dari hutang
6. Berlalu setahun
Syarat Pertama : Milik Penuh
Kekayaan
pada dasarnya adalah milik Allah. Yang
dimaksud pemilikan disini hanyalah penyimpanan, pemakaian, dan pemberian
wewenang yang diberikan Allah kepada manusia, sehingga sesorang lebih berhak
menggunakan dan mengambil manfaatnya daripada orang lain.
Istilah
"milik penuh" maksudnya adalah bahwa kekayaan itu harus berada di
bawah kontrol dan di dalam kekuasaannya.
Dengan kata lain, kekayaan itu harus berada di tangannya, tidak
tersangkut di dalamnya hak orang lain, dapat ia pergunakan dan faedahnya dapat
dinikmatinya.
Konsekwensi
dari syarat ini tidak wajib zakat bagi :
·
Kekayaan yang tidak mempunyai pemilik tertentu
·
Tanah waqaf dan sejenisnya
·
Harta haram. Karena sesungguhnya
harta tersebut tidak syah menjadi milik seseorang
·
Harta pinjaman. Dalam hal ini
wajib zakat lebih dekat kepada sang pemberi hutang (kecuali bila hutang tsb
tidak diharapkan kembali). Bagi orang
yang meminjam dapat dikenakan kewajiban zakat apabila dia tidak mau atau
mengundur-undurkan pembayaran dari harta tsb, sementara dia terus mengambil
manfaat dari harta tsb. Dengan kata lain
orang yang meminjam telah memperlakukan dirinya sebagai "si pemilik
penuh".
·
Simpanan pegawai yang dipegang pemerintah (seperti dana pensiun). Harta ini baru akan menjadi milik penuh di
masa yad, sehingga baru terhitung wajib zakat pada saat itu.
Syarat Kedua : Berkembang
Pengertian
berkembang yaitu harta tsb senantiasa bertambah baik secara konkrit (ternak
dll) dan tidak secara konkrit (yang berpotensi berkembang, seperti uang apabila
diinvestasikan).
Nabi
tidak mewajibkan zakat atas kekayaan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi
seperti rumah kediaman, perkakas kerja, perabot rumah tangga, binatang penarik,
dll. Karena semuanya tidak termasuk
kekayaan yang berkembang atau mempunyai potensi untuk berkembang. Dengan alasan ini pula disepakati bahwa hasil
pertanian dan buah-buahan tidak dikeluarkan zakatnya berkali-kali walaupun
telah disimpan bertahun-tahun.
Dengan
syarat ini pula, maka jenis harta yang wajib zakat tidak terbatas pada apa yang
sering diungkapkan sebahagian ulama yaitu hanya 8 jenis harta (unta, lembu,
kambing, gandum, biji gandum, kurma, emas, dan perak). Semua kekayaan yang berkembang merupakan
subjek zakat.
Syarat Ketiga: Cukup Senisab
Disyaratkannya nisab memungkinkan orang yang mengeluarkan zakat sudah
terlebih dahulu berada dalam kondisi berkecukupan. Tidaklah mungkin syariat membebani zakat pada
orang yang mempunyai sedikit harta dimana dia sendiri masih sangat membutuhkan
harta tsb. Dengan demikian pendapat yang
mengatakan hasil pertanian tidak ada nisabnya menjadi tertolak. (Besarnya nisab untuk masing-masing jenis
kekayaan dijelaskan pada bab lain).
Syarat Keempat: Lebih dari Kebutuhan Biasa
Kebutuhan adalah merupakan persoalan pribadi
yang tidak bisa dijadikan patokan besar-kecilnya. Adapun sesuatu kelebihan dari kebutuhan itu
adalah bagian harta yang bisa ditawarkan atau diinvestasikan yang dengan itulah
pertumbuhan/ perkembangan harta dapat terjadi.
Kebutuhan harus dibedakan dengan
keinginan. Kebutuhan yang dimaksud
adalah kebutuhan rutin, yaitu sesuatu yang betul-betul diperlukan untuk
kelestarian hidup; seperti halnya belanja sehari-hari, rumah kediaman, pakaian,
dan senjata untuk mempertahankan diri, peralatan kerja, perabotan rumah tangga,
hewan tunggangan, dan buku-buku ilmu pengetahuan untuk kepentingan keluarga
(karena kebodohan dapat berarti kehancuran).
Kebutuhan ini berbeda-beda dengan berubahnya
zaman, situasi dan kondisi, juga besarnya tanggungan dalam keluarga yang
berbeda-beda. Persoalan ini sebaiknya
diserahkan kepada penilaian para ahli dan ketetapan yang berwewenang.
Zakat dikenakan bila harta telah lebih dari
kebutuhan rutin. Sesuai dengan ayat
2:219 ("sesuatu yang lebih dari kebutuhan...") dan juga hadits
"zakat hanya dibebankan ke atas pundak orang kaya", dan hadits-hadits
lainnya.
Syarat ke lima: Bebas dari Hutang
Pemilikan sempurna yang dijadikan persyaratan
wajib zakat haruslah lebih dari kebutuhan primer, dan cukup pula senisab yang
sudah bebas dari hutang. Bila jumlah
hutang akan mengurangi harta menjadi kurang senisab, maka zakat tidaklah
wajib.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hutang merupakan
penghalang wajib zakat. Namun apabila
hutang itu ditangguhkan pembayarannya (tidak harus sekarang juga dibayarkan),
maka tidaklah lepas wajib zakat (seperti halnya hutang karena meng-kredit
sesuatu).
Syarat ke enam: Berlalu Setahun
Maksudnya bahwa pemilikan yang berada di tangan
si pemilik sudah berlalu masanya dua belas bulan Qomariyah. Menurut Yusuf Al-Qaradhawy, persyaratan
setahun ini hanyalah buat barang
yang dapat dimasukkan ke dalam istilah "zakat modal" seperti: ternak,
uang, harta benda dagang, dll. Adapun
hasil pertanian, buah-buahan, madu, logam mulia (barang tambang), harta karun,
dll yang sejenis semuanya termasuk ke dalam istilah "zakat
pendapatan" dan tidak dipersyaratkan satu tahun (maksudnya harus
dikeluarkan ketika diperoleh).
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para
shahabat dan tabi'in mengenai persyaratan "berlalu setahun" ini. Dimana apa pendapat yang mengatakan bahwa
zakat wajib dikeluarkan begitu diperoleh bila sampai senisab, baik karena
sendiri maupun karena tambahan dari yang sudah ada, tanpa mempersyaratkan satu
tahun. Perbedaan ini dikarenakan "tidak adanya satu hadits
yang tegas" mengenai persyaratan ini.
(Pembahasan lebih jauh mengenai hal ini Insya Allah akain kita jumpai
pada pembahasan zakat profesi/ pendapatan).
Namun demikian sesuatu yang tidak
diperselisihkan sejak dulu adalah bahwa zakat kekayaan yang termasuk zakat
modal di atas hanya diwajibkan satu kali dalam setahun.
KEKAYAAN
YANG WAJIB ZAKAT
Pembahasan berikut ini adalah tentang "Kekayaan
yang Wajib Zakat dan Besar Zakatnya".
Cukup banyak dan detail yang dibahas beliau (hal 167-501) yang mencakup
:
1.
Zakat binatang ternak
2.
Zakat emas dan perak / zakat uang
3.
Zakat kekayaan dagang
4.
Zakat pertanian
5.
Zakat madu dan produksi hewani
6.
Zakat barang tambang dan hasil laut
7.
Zakat investasi pabrik, gedung, dll
8.
Zakat pencarian dan profesi
9.
Zakat saham dan obligasi
Namun
demikian mengingat keterbatasan saya, saya hanya akan membahas yang penting
bagi kita pada umumnya untuk mengetahuinya yaitu nomor 2 dan 8 saja.
ZAKAT EMAS DAN PERAK
Pembahasan
mengenai zakat emas dan perak (E&P) perlu dibedakan antara E&P sebagai
perhiasan atau E&P sebagai uang (alat tukar). Sebagai perhiasan E&P juga dapat
dibedakan antara perhiasan wanita dan perhiasan lainnya (ukiran, souvenir,
perhiasan pria dll). Dangkalnya
pemahaman fungsi E&P sebagai alat tukar atau mata uang menyebabkan
banyaknya simpanan uang di kalangan ummat Islam tidak tertunaikan zakatnya.
I. Emas
dan Perak sebagai Uang
E&P
telah sejak lama juga pada zaman Rasulullah digunakan sebagai alat tukar
(uang), yaitu uang emas (dinar) dan uang perak (dirham). Kedua mata uang ini mereka peroleh dari
kerajaan-kerajaan tetanggan yang besar, dinar banyak digunakan penduduk
kerajaan Romawi Bizantinum sedangkan dirham pada kerajaan Persia.
Adapun
ayat 34-35 surat At Taubah : ..."Dan orang-orang yang menyimpan emas dan
perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah,....", ayat ini condong pada maksud e&p dalam
artian uang karena ia merupakan sesuatu yang dapat diinfakkan dan alat yang
dipakai langsung untuk itu. Ancaman
Allah dijumpai dalam dua hal yaitu; penyimpanannya, dan tidak diinfakkannya
pada jalan Allah. Ini dianggap tidak
"tidak berzakat". Beberapa
hadits juga menjelaskan dengan makna yang sama.
Hikmah Wajib Zakat Uang
Sesungguhnya
kepentingan uang adalah untuk bergerak dan beredar, maka dimanfaatkanlah oleh
orang-orang yang mengedarkannya.
Sebaliknya penyimpanan dan pemendamannya akan menyebabkan tidak lakunya
pekerjaan-pekerjaan, merajalelanya pengangguran, matinya pasar-pasar, dan
mundurnya kegiatan perekonomian secara umum. Oleh karenanya pewajiban zakat
bagi pemilik uang (yang sudah sampai nisab) baik yang dikembangkan maupun tidak
adalah merupakan langkah kongkrit yang patut diteladani.
Hadits
Nabi memerintahkan perniagaan harta anak
yatim sehingga tidak habis begitu saja dimakan zakat.
Besarnya Zakat Uang
Tidak
terdapat perbedaan pendapat ulama dalam hal besarnya zakat uang ini yaitu 2.5
persen. Yusuf Al-Qaradhawy juga
membantah keras beberapa peneliti dewasa ini yang menganjurkan agar besar zakat
ini ditambah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangaan keadaan. Alasan yang dikemukakan antara lain : Hal tsb
bertentangan dengan nash yang jelas; bertentangan dengan ijmak ulama; bahwa zakat
adalah kewajiban, karena itu harus mempunyai sifat yang tetap, kekal dan utuh;
adapun kebutuhan dana bagi negara dewasa ini dapat diatasi dengan pengadaan
pajak lain disamping zakat.
Nisab Uang
Melalui
pembahasan yang panjang dan nyelimet bagi saya (karena banyak menggunakan
satuan-satuan yang saya nggak faham, dan juga kaidah-kaidah ushul fiqh) maka
saya langsung saja lompat pada kesimpulan dari penelitian Yusuf Al-Qaradhawy
mengenai ketentuan nisab uang ini, yaitu 85 gram emas dan 200 gram perak. Adapun nisab untuk uang kertas dan surat-surat
berharga lain ditetapkan setara dengan 85 gram emas, dengan pertimbangan nilai
emas jauh lebih stabil dari pada perak.
Menutup
pembahasan zakat uang ini, Yusuf Al-Qaradhawy mengingatkan kembali bahwa setiap
uang milik penuh yang sudah sampai senisab, bebas dari hutang, dan merupakan
kelebihan dari kebutuhan pokok, maka wajiblah zakatnya 2.5 persen, yaitu sekali
dalam setahun. Mengenai kapan harus
dikeluarkan, apakah di awal atau akhir tahun atau pada saat diterima, Insya
Allah akan dibahas dalam pembahasan "zakat pencarian/profesi".
II. Zakat Emas dan Perak yang Non
Uang
Manusia sering menggunakan E&P selain untuk
perhiasan yang diperbolehkan oleh syara' juga untuk perhiasan yang tidak
diperbolehkan. Perhiasan yang dihalalkan
adalah untuk kaum wanita dalam batas yang tidak berlebihan, dan juga perak
untuk pria. Adapun banyak penggunaan
E&P di kalangan masyarakat yang tidak dibenarkan oleh syara' yaitu berupa
barang seperti; bejana-bejana, patung dan benda seni lainnya, dll, yang pada
hakekatnya E&P tsb adalah berupa simpanan yang tidak beredar di kalangan
masyarakat.
Perhiasan yang tidak wajib dizakati adalah
perhiasan yang dipakai dan dimanfaatkan. Adapun yang dijadikan sebagai benda
simpanan, maka hal itu wajib dizakati.
Karena pada hakekatnya simpanan E&P ini mempunyai potensi untuk
dikembangkan (lihat lagi posting syarat harta yang wajib zakat).
Setelah menempuh analisis yang panjang, maka
untuk mudahnya saya sampaikan saja kesimpulan yang ditarik Yusuf Al-Qaradhawy
untuk masalah ini :
1. Kekayaan
dari E&P yang digunakan sebagai simpanan adalah wajib dikeluarkan zakatnya.
2. Jika
kekayaan E&P tersebut untuk dipakai seseorang, maka hukumnya dilihat pada
macam penggunaannya; jika penggunaannya bersifat haram seperti untuk
bejana-bejana emas atau perak, patung-patung maka wajib dikeluarkan zakatnya.
3. Diantara
pemakaian perhiasan yang diharamkan adalah yang ada unsur berlebih-lebihan dan
menyolok oleh seorang perempuan.
4. Jika
perhiasan tsb digunakan untuk hal yang mubah seperti perhiasan perempuan yang
tidak berlebih-lebihan, serta cincin perak untuk laki-laki, maka tidak wajib
dikeluarkan zakatnya, karena perhiasan tsb merupakan harta yang tidak
berkembang (tidak memenuhi syarat harta yang wajib zakat), dan juga merupakan
salah satu di antara kebutuhan-kebutuhan manusia.
5. Tidak
ada perbedaan antara perhiasan mubah tersebut dimiliki oleh seseorang untuk
dipakainya sendiri atau dipinjamkan kepada orang lain.
6. Yang
wajib dizakati dari perhiasan yang tidak dibenarkan syara' (bejana, patung dll)
adalah sebesar ukuran mata uang dan dikeluarkan zakatnya sebanyak 2.5 % setiap
tahun dengan hartanya yang lain jika memiliki.
7. Hal
ini dengan syarat telah mencapai nisab atau bersama dengan hartanya yang lain
memenuhi nisab, yaitu 85 gram emas, yaitu nilainya dan bukan ukurannya (Perhatian : Nilai dan Ukuran itu berbeda,
sekedar contoh nih, sebuah patung emas atau perak bisa mempunyai nilai jual
berlipat-lipat dari harga emas/perak bahan baku pembuatannya).
ZAKAT PENCARIAN DAN PROFESI
Bagian ini memasuki pembahasan ZAKAT
PENCARIAN atau PROFESI. Topik ini
merupakan salah satu topik yang sangat penting bagi kita yang memiliki suatu
pekerjaan atau profesi tertentu.
Topik ini sebenarnya bukan sudah hal yang baru
di kalangan ahli fiqih zakat. Tapi apa
yang diungkapkan oleh Yusuf Al-Qaradhawy mengenai topik ini adalah ijtihad
beliau dalam rangka menentukan hukum yang jelas mengenai kedudukan harta
pencarian dan profesi, yaitu melalui studi perbandingan dan penelitian yang
sangat dalam terhadap pendapat-pendapat yang ada mengenai masalah ini sejak
zaman sahabat hingga zaman sekarang.
Dengan demikian ijtihad beliau adalah ijtihad yang mempunyai dasar
pijakan yang kuat.
Untuk menghilangkan keragu-raguan kita selama
ini terhadap harta yang kita peroleh melalu profesi kita : Apakah itu terkait
dengan kewajiban zakat ? Bila ya, berapa
besarnya ? Berapa nisabnya ? Bagaimana
cara pembayarannya ? dll, maka sepatutnya
kita dapat mengikuti apa yang dikemukakan beliau dalam bab ini. Oleh karena itu topik ini akan disampaikan
secara lebih detil.
Barangkali bentuk penghasilan yang paling
menyolok dewasa ini adalah apa yang diperoleh dari pencarian atau profesi, baik
suatu pencarian yang tergantung oleh orang lain seperti pegawai (negeri atau
swasta), atau pencarian tidak tergantung kepada pihak lain (professional),
seperti halnya dokter, advokat, penjahit, seniman, dll. Jenis pekerjaan ini mendatangkan penghasilan baik
berupa gaji, upah ataupun honorarium.
Perbedaan pendapat di antara para ulama dalam
hal mewajibkan zakat terhadap harta pencarian dan profesi ini sudah berlangsung
sejak lama. Adapun beberapa ulama modern
saat ini telah beranggapan bahwa upaya menemukan hukum pasti zakat harta jenis
ini adalah sangat mendesak, dikarenakan inilah jenis penghasilan yang
paling banyak dijumpai saat ini. Bila
tidak ini berarti kita telah melepaskan kebanyakan orang dari kewajiban zakat
yang telah dinyatakan jelas kewajibannya secara umum dalam Al Quran dan
Sunnah ("Hai orang-orang yang
beriman keluarkanlah sebagian usaha kalian", 2:267).
Pandangan Fikih tentang Pencarian dan Profesi (P&P)
Zakat harta P&P memang tidak ditemukan
contohnya dalam hadits, namun dengan menggunakan kaidah ushul fikih dapatlah
harta P&P digolongkan kepada "harta penghasilan", yaitu kekayaan
yang diperoleh seseorang Muslim melalui bentuk usaha baru yang sesuai dengan
syariat agama. Harta penghasilan itu
sendiri dapat dibedakan menjadi :
(1) Penghasilan
yang berkembang dari kekayaan lain, misalnya uang hasil menjual poduksi
pertanian yang sudah dikeluarkan zakatnya 10% atau 5% yang tentunya uang hasil
penjualan tersebut tidak perlu dizakatkan pada tahun yang sama karena kekayaan
asalnya (produksi pertanian tsb) sudah dizakatkan. Ini untuk mencegah terjadinya apa yang
disebut double zakat.
(2) Penghasilan
yang berasal karena penyebab bebas, seperti gaji, upah, honor, investasi modal
dll (Insya Allah, pembahasan kita akan
berkisar pada jenis harta penghasilan yang kedua ini). Karena harta yang diterima ini belum pernah
sekalipun dizakatkan, dan mugnkin tidak akan pernah sama sekali bila harus
menunggu setahun dulu.
Perbedaan
yang menyolok dalam pandangan fikih tentang harta penghasilan ini, terutama
berkaitan dengan adanya konsep "berlaku setahun" yang dianggap
sebagai salah satu syarat dari harta yang wajib zakat (lihat pula posting
sebelumnya mengenai syarat harta yang wajib zakat).
Sebagian
pendapat mengungkapkan syarat ini berlaku untuk semua jenis harta, tapi
sebagian lainnya mengungkapkan syarat ini tidak berlaku untuk seluruh jenis
harta, terutama tidak berlaku untuk jenis harta penghasilan. selama diberlakukan juga ketentuan berlaku
setahun itu untuk jenis harta penghasilan, maka akan sulit untuk melaksanakan
kewajiban zakat untuk harta penghasilan ini.
Kelompok
terakhir ini berpendapat, bahwa zakat penghasilan ini wajib dikeluarkan
zakatnya langsung ketika diterima tanpa menunggu waktu satu tahun. Diantara kelompok terakhir ini adalah: Ibnu
Abbas, Ibnu Mas'ud, Muawiyyah, dll, juga Umar bin Abdul Aziz.
Pendapat
mana yang lebih kuat tentang kedudukan zakat P&P ini ? Oleh karenanya Yusuf Al-Qaradhawy menelaah
kembali hadits-hadits tentang ketentuan setahun ini dimana dijumpai ketentuan
tersebut ditetapkan berdasar empat hadits dari empat shahabat, yaitu: Ali, Ibnu
Umar, Anas dan Aisyah ra. Diantaranya
berbunyi sbb:
Hadits
dari Ali ra. dari Nabi SAW: “Bila engkau mempunyai 200 dirham dan sudah
mencapai waktu setahun, maka zakatnya adalah 5 dirham,...... “
Hadits
dari Aisyah ra, Rasulullah pernah bersabda : “Tidak ada zakat pada suatu
harta sampai lewat setahun”.
Tetapi
ternyata hadits-hadits itu mempunyai kelemahan-kelemahan dalam sanadnya
sehingga tidak bisa untuk dijadikan landasan hukum yang kuat (hadits shahih),
apalagi untuk dikenakan pada jenis "harta penghasilan" karena akan
bentrok dengan apa yang pernah dilakukan oleh beberapa shahabat. Adanya perbedaan pendapat di kalangan para
shahabat tentang persyaratan setahun untuk zakat penghasilan juga mendukung
ketidak shahihan hadits-hadits tsb.
Bila
benar hadits-hadits tersebut berasal dari Nabi SAW, maka tentulah pengertian
yang dapat diterima adalah : "harta benda yang sudah dikeluarkan
zakatnya tidak wajib lagi zakat sampai setahun berikutnya". zakat adalah tahunan.
Beberapa
riwayat sahabat seperti Ibnu Mas'ud, menceritakan bagaimana harta penghasilan
langsung dikeluarkan zakatnya ketika diterima tanpa menunggu setahun. Sehingga menjadi semakin jelas bahwa masa
setahun tidak merupakan syarat, tetapi hanya merupakan tempo antara dua
pengeluaran zakat.
Setelah
mengadakan studi perbandingan dan penelitian yang mendalam terhadap nash-nash
yang berhubungan dengan status zakat untuk bermacam-macam jenis kekayaan, juga
dengan memperhatikan hikmah dan maksud PEMBUAT SYARIAT yang telah mewajibkan
zakat, dan diperhatikan pula kebutuhan Islam dan ummat Islam pada masa sekarang
ini, maka Yusuf Al-Qaradhawy berpendapat bahwa harta hasil usaha seperti: gaji
pegawai, upah karyawan, pendapatan dokter, insinyur, advokat, penjahit,
seniman, dllnya wajib terkena zakat dan dikeluarkan zakatnya pada waktu
diterima.
Sebagai
penjelasan dari pendapat beliau terhadap masalah yang sensitif ini, Yusuf
Al-Qaradhawy mengemukakan beberapa butir alasan yang dikuatkan dengan dalil.
Pembahasan ini adalah kelanjutan dari
pembahasan zakat pencarian dan profesi.
Point-point di bawah ini adalah alasan-alasan yang dikemukakan oleh
Yusuf Al-Qaradhawy untuk menguatkan pendapat beliau bahwa harta pencarian
dan profesi wajib dikeluarkan zakatnya pada saat diterima.
1. Persyaratan
satu tahun dalam seluruh harta termasuk harta penghasilan tidak berdasar
nash yang mencapai tingkat shahih atau hasan yang darinya bisa diambil ketentuan hukum
syara' yang berlaku umum bagi ummat.
2. Para
sahabat dan tabi'in memang berbeda pendapat dalam harta penghasilan; sebagian
mempersyaratkan adanya masa setahun, sedangkan sebagian lain tidak
mempersyaratkannya yang berarti wajib dikeluarkan zakatnya pada saat harta
penghasilan tersebut diterima seorang Muslim.
Oleh karenanya persoalan tersebut dikembalikan kepada nash-nash yang
lain dan kaedah-kaedah yang lebih umum.
3. Ketiadaan
nash ataupun ijmak dalam penentuan hukum zakat harta penghasilan membuat
mazhab-mazhab berselisih pendapat tajam sekali, yang bila dijajagi lebih jauh
justru menimbulkan berpuluh-puluh persoalan baru yang semakin merumitkan, yang
seringkali hanya berdasarkan dugaan-dugaan dan tidak lagi didasarkan pada nash
yang jelas dan kuat. Semuanya membuat
Yusuf Al-Qaradhawy menilai bahwa adalah tidak mungkin syariat yang sederhana
yang berbicara untuk seluruh ummat manusia membawa persoalan-persoalan kecil
yang sulit dilaksanakan sebagai kewajiban bagi seluruh ummat.
4. Mereka
yang tidak mempersyaratkan satu tahun bagi syarat harta penghasilan wajib zakat
lebih dekat kepada nash yang berlaku umum dan tegas. karena nash-nash yang mewajibkan zakat baik
dari quran maupun sunnah datang secara umum dan tegas dan tidak terdapat di
dalamnya persyaratan setahun.
Misalnya
: "Hai orang-orang yang beriman keluarkanlah sebagian usaha kalian"
(2:267). Kata "ma kasabtum"
merupakan kata umum yang artinya mencakup segala macam usaha: perdagangan atau
pekerjaan dan profesi. Para ulama fikih
berpegang pada keumuman maksud ayat tersebut sebagai landasan zakat
perdagangan, yang oleh karena itu kita tidak perlu ragu memakainya sebagai
landasan zakat pencarian dan profesi.
Bila para ulama fikih talah menetapkan setahun sebagai syarat wajib
zakat perdagangan (maaf, zakat perdagangan tidak saya tayangkan dalam serial
ini), karena antara pokok harta dengan laba yang dihasilkan tidak dipisahkan,
sementara laba dihasilkan dari hari ke hari bahkan dari jam ke jam. Lain halnya dengan gaji atau sebangsanya yang
diperoleh secara utuh, tertentu dan pasti.
5. Disamping
nash yang berlaku umum dan mutlak memberikan landasan kepada pendapat mereka
yang tidak menjadikan satu tahun sebagai syarat harta penghasilan untuk wajib
zakat, Qias yang benar juga mendukungnya.
Kewajiban zakat uang atau sejenisnya pada saat diterima seorang Muslim
diqiaskan dengan kewajiban zakat pada tanaman dan buah-buahan pada waktu
panen.
6. Pemberlakuan
syarat satu tahun bagi zakat harta penghasilan berarti membebaskan sekian
banyak pegawai dan pekerja profesi dari kewajiban membayar zakat atas
pendapatan mereka yang besar, karena mereka itu akan menjadi dua golongan
saja : yang menginvestasikan pendapatan mereka terlebih dahulu, dan yang
berfoya-foya dan menghamburkan semua penghasilannya sehingga tidak mencapai
masa wajib zakatnya. Itu berarti zakat
hanya dibebankan pada orang-orang yang hemat saja, yang membelanjakan kekayaan
seperlunya, yang mempunyai simpanan sehingga mencapai masa zakatnya. Hal ini jauh sekali dari maksud kedatangan
syariat yang adil dan bijak, dimana hal ini justru memperingan beban
orang-orang pemboros dan memperberat orang-orang yang hidup sederhana.
7. Pendapat
yang menetapkan setahun sebagai syarat harta penghasilan jelas terlihat saling kontradiksi
yang tidak bisa diterima oleh keadilan dan hikmat islam mewajibkan zakat.
Misalnya seorang petani menanam tanaman pada tanah sewaan (maaf lagi, zakat
pertanian juga tidak bisa ditayangkan), hasilnya dikenakan zakat sebanyak 10%
atau 5%, sedangkan pemilik tanah yang dalam satu jam kadang-kadang memperoleh
beratus-ratus dinar berupa uang sewa tanah tersebut tidak dikenakan zakat
berdasarkan fatwa-fatwa dalama mazhab-mazhab yang ada, dikarenakan adanya
persyaratan setahun bagi penghasilan tersebut sedangkan jumlah itu jarang bisa terjadi di akhir tahun. Begitu pula halnya dengan seorang dokter,
insinyur, advokat, pemilik mobil angkutan, pemilik hotel, dll. Sebab pertentangan itu adalah sikap yang
terlalu mengagungkan pendapat-pendapat fikih yang tidak terjamin dan tidak
terkontrol berupa hasil ijtihad para ulama.
Kita tidak yakin bila mereka hidup pada zaman sekarang dan menyaksikan
`apa yang kita saksikan, apakah mereka akan meralat ijtihad mereka dalam banyak
masalah.
8. Pengeluaran
zakat penghasilan setelah diterima akan lebih menguntungkan fakir miskin dan
orang-orang yang berhak lainnya. Ini
akan menambah besar perbendaharaan zakat dan juga memudahkan pemiliknya dalam
mengeluarkan zakatnya. Cara yang
dinamakan oleh para ahli perpajakan dengan "Penahanan pada Sumber"
sudah dipraktekan oleh Ibn Mas'ud, Mu'awiyah dan juga Umar bin Abdul Aziz yaitu
dengan memotong gaji para tentara dan orang-orang yang di bawah kekuasaan
negara saat itu.
9. Menegaskan
bahwa zakat wajib atas penghasilan sesuai dengan tuntunan Islam yang menanamkan
nilai-nilai kebaikan, kemauan berkorban, belas kasihan dan suka memberi dalam
jiwa seorang Muslim. Pembebasan
jenis-jenis penghasilan yang berkembang sekarang ini dari zakat dengan menunggu
masa setahunnya, berarti membuat orang-orang hanya bekerja, berbelanja dan
bersenang-senang, tanpa harus mengeluarkan rezeki pemberian Tuhan dan tidak
merasa kasihan kepada orang yang tidak diberi nikmat kekayaan itu dan kemampuan
berusaha.
10. Tanpa
persyaratan setahun bagi harta penghasilan akan lebih menguntungkan dari segi
administrasi baik bagi orang yang mengeluarkan maupun pihak amil yang memungut
zakat. Persyaratan satu tahun bagi zakat
penghasilan, menyebabkan setiap orang harus menentukan jatuh tempo pengeluaran
setiap jumlah kekayaannya yang diterimanya.
Ini berarti bahwa seseorang Muslim bisa mempunyai berpuluh-puluh masa
tempo masing-masing kekayaan yang diperoleh pada waktu yang berbeda-beda. Ini sulit sekali dilakukan, dan sulit
pula bagi pemerintah memungut dan mengatur zakat yang yang dengan demikian
zakat tidak bisa terpungut dan sulit dilaksanakan (Nantikan pula posting
"Cara Membayar Zakat").
Demikian
alasan yang dikemukakan beliau. Kalau
ada yang mau protes silahkan, tapi jangan ke saya lho. Bila ada yang setuju dengan pendapat Yusuf
Al-Qaradhawy ini, maka silahkan mulai mengeluarkan zakat saat ini juga, baik
dari stipend yang diperoleh, honor, dll.
Mari ber Fastabikhul Khairat dalam berzakat.
Pembahasan berikut ini adalah bagian akhir dari
kaji kita mengenai zakat pencarian dan profesi, yaitu membahas ukuran nisab dan
besarnya zakat serta cara pembayaran yang mungkin dilakukan oleh kita para
professional.
Penghasilan dari profesi itu sendiri tidaklah
selalu mudah diperoleh seperti halnya para dokter, banyak pula diantaranya yang
diperoleh dengan susah payah, misalnya penjahit, supir, dll, sehingga perlu
diketahui pula nisab dan besar zakatnya.
NISAB
DAN BESARNYA ZAKAT PENCARIAN DAN PROFESI
Seteleh menetapkan harta penghasilan dari
pencarian dan profesi adalah wajib zakat, yusuf Al-Qaradhawy menjelaskan pula
berapa besar nisab buat jenis harta ini, yaitu 85 GRAM EMAS seperti hal
besarnya nisab uang (yang telah kita kaji sebelumnya). Demikian pula dengan besarnya zakat adalah seperempatpuluh
(2.5%) sesuai dengan keumumman nash yang mewajibkan zakat uang sebesar itu.
Maka tinggal satu persoalan lagi !!!
Orang-orang yang memiliki profesi itu menerima
pendapatan mereka tidak teratur, bisa setiap hari seperti dokter, atau pada
saat-saat tertentu seperti seorang advokat, kontraktor dan penjahit, atau
secara regular mingguan atau bulanan seperti kebanyakan para pegawai (seperti
kita yang anggota korpri-)).
Bila nisab di atas ditetapkan untuk setiap kali
upah, gaji yang diterima, berarti kita akan membebaskan kebanyakan golongan
profesi yang menerima gaji beberapa kali pembayaran dan jarang sekali cukup
nisab dari kewajiban zakat. Sedangkan
bila seluruh gaji itu dalam satu waktu tertentu itu dikumpulkan akan cukup
senisab bahkan akan mencapai beberapa nisab.
Adapun waktu penyatuan dari penghasilan itu
yang dimungkinkan dan dibenarkan oleh syariat itu adalah satu tahun. Dimana zakat dibayarkan setahun sekali. Fakta juga menunjukkan bahwa pemerintah mengatur gaji pegawainya
berdasarkan ukuran tahun, meskipun dibayarkan per bulan karena kebutuhan
pegawai yang mendesak.
Jangan lupa bahwa yang diukur nisabnya adalah penghasilan
bersih, yaitu penghasilan yang telah dikurangi dengan kebutuhan biaya hidup
terendah atau kebutuhan pokok seseorang berikut tanggungannya (lihat posting
syarat harta yang wajib zakat), dan juga setelah dikurangi untuk pembayaran
hutang (ini hutang bukan karena kredit barang mewah lho, tapi karena untuk
memenuhi kebutuhan pokok/primer seperti halnya bayar kredit rumah BTN, hutang
nunggak bayaran sekolah anak, dll).
Bila penghasilan bersih itu dikumpulkan dalam
setahun atau kurang dalam setahun dan telah mencapai nisab, maka wajib zakat
dikeluarkan 2.5% nya. Bila seseorang
telah mengeluarkan zakatnya langsung ketika menerima penghasilan tsb (karena
yakin dalam waktu setahun penghasilan bersihnya akan lebih dari senisab), maka
tidak wajib lagi bagi dia mengeluarkannya di akhir tahun (karena akan berakibat
double zakat). Selanjutnya orang tsb
harus membayar zakat dari penghasilan tsb pada tahun kedua dalam bentuk
kekayaan yang berbeda-beda.
·
Bila kelebihan itu disimpan dalam bentuk uang, emas dan perak, maka kaji
kita akan kembali pada pembahasan mengenai zakat uang, emas dan perak.
·
Bila kelebihan itu diinvestasikan (pabrik, gedung, rumah yang disewakan,
kendaraan yang disewakan, dll), kita perlu membahas zakat investasi.
·
Bila harta tsb selanjutnya diputar dalam perdagangan maka zakatnya
dibahas dalam zakat perdagangan.
·
Bila dibelikan saham atau obligasi, maka zakatnya dibahas dalam zakat
saham dan obligasi.
·
Bila dibelanjakan untuk sesuatu yang dipergunakan sehari-hari atau yang
tidak mempunyai potensi berkembang, maka tidak ada kewajiban zakat lagi pada
tempo yang kedua ini.
Demikian
saja yang bisa saya sarikan mengenai Zakat Pencarian dan Profesi. Berikut ini cara simple untuk kalkulasi yang
bisa digunakan oleh Ikhwan sekalian.
Penerimaan kotor selama setahun : A
Kebutuhan pokok setahun : B
Hutang-hutang yang dibayar dalam
setahun : C
Penghasilan bersih setahun : A-(B+C) = D
Bila D > atau = dengan nilai 85 gram mas,
maka wajib zakat yaitu 2.5% X D.
Bila D < nilai 85 gram emas, maka tidak
wajib zakat.
Jadi
bila kita yakin bahwa perkiraan besarnya D yang kita miliki dalam setahun
adalah lebih besar dari 85 gram emas, maka kita tidak perlu lagi ragu-ragu
mengeluarkan zakat langsung ketika diterima.
Misalnya dari gaji bulanan diambil 2.5 % dari D/12 (karena perbulan).
Bila
disamping gaji bulanan kita memperoleh tambahan penghasilan lain dari profesi
kita, misalnya bagi dosen universitas negeri yang juga mengajar di universitas
swasta. Misalkan memperoleh sebesar E
dalam setahun, maka zakatnya adalah 2.5 % x (D+E), karena seluruh kebutuhan B
dan C sudah tercover sebelumnya yang menghasilkan D.
Perlu
diingat bahwa ini hanya zakat kita dari penghasilan pencarian dan profesi. Bentuk-bentuk kekayaan lain yang kita miliki
seperti; peternakan, pertanian, investasi, emas dan perak, uang tabungan,
saham, obligasi, perdagangan dll, juga harus dikeluarkan zakatnya dengan ukuran
nisab dan besar zakat yang berbeda satu dengan lainnya. Dan saya mohon maaf karena tidak bisa
membahas semua jenis kekayaan tsb.
SASARAN ZAKAT
Walaupun tidak begitu penting untuk diketahui
oleh umumnya kita semua, apa sja sasaran-sasaran zakat menurut Qur'an, tapi
saya akan mensarikan secara singkat untuk memperjelas hal-hal yang mungkin
masih rancu di kalagan ummat Islam.
Khususnya bagi Ikhwan yang terlibat atau akan melibatkan diri dalam
masalah zakat ini pada unit-unit zakat
di lingkungan kerja, tempat tinggal atau keluarga masing-masing, maka topik ini
menjadi penting. Dapat dikatakan bahwa
upaya mendistribusikan zakat adalah jauh lebih sulit dan kompliketed dari pada
sekedar mengumpulkan. Dalam buku Yusuf
Al-Qaradhawy topik ini tercakup dalam Bagian IV : Sasaran Zakat yang diuraikan
lebih dari 220 halaman.
Sebagaimana yang diterangkan dalam QS 9:60,
sassaran zakat ada 8 golongan : fakir, miskin, amil zakat, golongan muallaf,
memerdekakan budak belian, orang yang berutang, di jalan Allah, dan ibnu
sabil.
Sasaran zakat ini sangat penting dalam
pandangan Islam, sehingga terdapat hadits yang menjelaskan bahwa untuk
menentukan sasaran zakat ini seakan-akan Allah tidak rela bila Rasulullah SAW
menetapkannya sendiri, sehingga Allah SWT menurunkan ayat 9:60 tsb.
FAKIR
DAN MISKIN
Siapakah yang disebut fakir
dan miskin ?
Terdapat
beragam definisi mengenai kata fakir dan miskin, tapi secara umum fakir dan
miskin itu adalah mereka yang kebutuhan pokoknya tidak tercukupi sedangkan
mereka secara fisik tidak mampu bekerja atau tidak mampu memperoleh pekerjaan.
Golongan
ini dapat dikatakan sebagai inti sasaran zakat (Hadits: ... zakat yang diambil
dari orang kaya dan diberikan kepada orang miskin).
Selanjutnya
kita dianjurkan pula untuk lebih memperhatikan orang-orang miskin yang menjaga
diri dan memelihara kehormatan. Sesuai hadits:
"Orang
miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling minta-minta agar diberi sesuap dua
suap nasi, satu dua biji kurma, tapi orang miskin itu ialah mereka yang
hidupnya tidak berkecukupan kemudian diberi sedekah, dan merekapun tidak pergi
meminta-minta pada orang" (Bukhari Muslim)
Fakir
miskin hendaklah diberikan harta zakat yang mencukupi kebutuhannya sampai dia
bisa menghilangkan kefakirannya. Bagi
yang mampu bekerja hendaknya diberikan peralatan dan lapangan pekerjaan. Sedangkan bagi yang tidak mampu lagi bekerja
(orang jompo, cacat fisik), hendaknya disantuni seumur hidupnya dari harta
zakat.
Maka
jelaslah bahwa tujuan zakat bukanlah memberi orang miskin satu atau dua dirham,
tapi maksudnya ialah memberikan tingkat hidup yang layak. Layak sebagai manusia yang didudukan Allah
sebagai khalifah di bumi, dan layak sebagai Muslim yang telah masuk ke dalam
agama keadilan dan kebaikan, yang telah masuk ke dalam ummat pilihan dari
kalangan manusia.
Tingkat
hidup minimal bagi seseorang ialah dapat memenuhi makan dan minum yang layak
untuk diri dan keluarganya, demikian pula pakaian untuk musim dingin dan musim
panas, juga mencakup tempat tinggal dan keperluan-keperluan pokok lainnya baik
untuk diri dan tanggungannya.
Wah,
tentunya banyak sekali harta zakat yang harus dikumpulkan, sementara ini ummat
Islam, ambil contoh di Indonesia, masih sangat minim dalam menunaikan kewajiban
ini.
AMIL
ZAKAT
Amil merupakan sasaran berikutnya setelah fakir
miskin (9:60). Amil adalah mereka yang melaksanakan
segala kegiatan urusan zakat, dimana Allah menyediakan upah bagi mereka
dari harta zakat sebagai imbalan.
Dimasukkannya amil sebagai asnaf menunjukkan
bahwa zakat dalam islam bukanlah suatu tugas yang hanya diberikan kepada
seseorang (individual), tapi merupakan tugas jamaah (bahkan menjadi tugas
negara). Zakat punya anggaran khusus
yang dikeluarkan daripadanya untuk gaji para pelaksananya.
Syarat
Amil (siapa tahu ada Isneter yang tertarik menjadi Amil Professional) :
1.
Seorang Muslim
2.
Seorang Mukallaf (dewasa dan sehat pikiran)
3.
Jujur
4.
Memahami Hukum Zakat
5.
Berkemampuan untuk melaksanakan tugas
6.
Bukan keluarga Nabi (sekarang sudah nggak ada nih)
7.
Laki‑laki
8.
Sebagian ulama mensyaratkan amil itu orang merdeka (bukan hamba)
Tugas Amil :
Semua hal yang berhubungan dengan pengaturan
zakat. Amil mengadakan sensus berkaitan
dengan:
1.
orang yang wajib zakat,
2.
macam-macam zakat yang diwajibkan
3.
besar harta yang wajib dizakat
4.
Mengetahui para mustahik :
‑
Jumlahnya
‑
jumlah kebutuhan mereka dan
jumlah biaya yang cukup untuk mereka.
Berapa besar bagian buat amil ini :
Amil
tetap diberi zakat walau ia kaya, karena yang diberikan kepadanya adalah
imbalan kerjanya bukan berupa pertolongan bagi yang membutuhkan. Amil itu adalah pegawai, maka hendaklah
diberi upah sesuai dengan pekerjaannya, tidak terlalu kecil dan tidak juga
berlebihan. Pendapat yang terkuat yang
diambil Yusuf Qardawy adalah pendapat Imam Syafi'i, yaitu maksimal sebesar 1/8
bagian. Kalau upah itu lebih besar dari
bagian tersebut, haruslah diambilkan dari harta diluar zakat, misalnya oleh
pemerintah dibayarkan dari sumber pendapatan pemerintah lainnya.
GHARIMIN
Gharimin dapat terbagi dua :
A. Orang
yang berhutang untuk kemaslahatan sendiri (seperti untuk nafkah keluarga,
sakit, mendirikan rumah dlsb). Termasuk
didalamnya orang yang terkena bencana sehingga hartanya musnah.
Beberapa syarat gharimin ini :
1. Hendaknya
ia mempunyai kebutuhan untuk memiliki harta yang dapat membayar utangnya.
2. Orang
tsb berhutang dalam melaksanakan ketaatan atau mengerjakan sesuatu yang
diperbolehkan syariat.
3. Hutangnya
harus dibayar pada waktu itu. Apabila
hutangnya diberi tenggang waktu dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di
kalangan ulama apakah orang yang berhutang ini dapat dikategorikan sebagai
mustahik.
4. Kondisi
hutang tsb berakibat sebagai beban yang sangat berat untuk dipikul.
Berapa besar orang yang berhutang harus
diberikan ?
Orang
yang berhutang karena kemaslahatan dirinya harus diberi sesuai dengan
kebutuhannya. Yaitu untuk membayar
lunas hutangnya. Apabila ternyata ia
dibebaskan oleh yang memberi hutang, maka dia harus mengembalikan bagiannya
itu. Karena ia sudah tidak memerlukan
lagi (untuk membayar hutang).
Sesungguhnya
Islam dengan menutup utang orang yang berhutang berarti telah menempatkan dua
tujuan utama :
1. Mengurangi
beban orang yang berutang dimana ia selalu menghadapi kebingungan di waktu
malam dan kehinaan di waktu siang.
2. Memerangi
riba.
B. Orang
yang berhutang untuk kemaslahatan orang lain.
Umumnya
hal ini dikaitkan dengan usaha untuk mendamaikan dua pihak yang bersengketa,
namun tidak ada dalil syara' yang mengkhususkan gharimin hanya pada usaha
mendamaikan tsb. Oleh karenanya orang
yang berhutang karena melayani kepentingan masyarakat hendaknya diberi bagian
zakat untuk menutupi hutangnya, walaupun ia orang kaya.
Jadi
bagi kita yang mengambil kredit TV misalnya, tentunya tidak termasuk kaum
gharimin yang menjadi sasaran zakat. Karena kita bukannya sengsara karena
hutang, tapi justru menikmatinya.
FISABILILLAH
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama
mengenai definisi "Fisabilillah" yang menjadi sasaran zakat dalam
ayat 9:60. Apakah harus digunakan
definisi dalam arti sempit yaitu "jihad", atau definisi dalam arti
luas yaitu "segala bentuk kebaikan dijalan Allah".
Kesepakatan Madzhab Empat tentang Sasaran
Fisabilillah.
1. Jihad
secara pasti termasuk dalam ruang lingkup Fisabilillah.
2. Disyariatkan
menyerahkan zakat kepada pribadi Mujahid, berbeda dengan menyerahkan zakat
untuk keperluan jihad dan persiapannya.
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan mereka.
3. Tidak
diperbolehkan menyerahkan zakat demi kepentingan kebaikan dan kemaslahatan
bersama, seperti mendirikan dam, jembatan, masjid dan sekolah, memperbaiki
jalan, mengurus mayat dll. Biaya untuk
urusan ini diserahkan pada kas baitul maal dari hasil pendapatan lain seperti
harta fai, pajak, upeti, dlsb.
Namun
beberapa ulama lain telah meluaskan arti sabilillah ini seperti : Imam Qaffal,
Mazhab Ja'fari, Mazhab Zaidi, Shadiq Hassan Khan, Ar Razi, Rasyid Ridha dan
Syaltut, dll.
Setelah
mengkaji perbedaan‑perbedaan pendapat ini, dan juga merujuk pengertian kata
fisabilillah yang tertera dalam ayat‑ayat Al Qur'an, maka sampailah Yusuf
Qardhawi pada kesimpulan sbb :
Pendapat
yang dianggap kuat adalah, bahwa makna umum dari sabilillah itu tidak layak
dimaksud dalam ayat ini, karena dengan keumumannya ini meluas pada aspek‑aspek yang banyak
sekali, tidak terbatas sasarannya dan apalagi terhadap orang‑orangnya. Makna umum ini meniadakan pengkhususan
sasaran zakat delapan, dan sebagaimana hadits Nabi yang berbunyi :
"Sesungguhnya Allah tidak meridhoi hukum Nabi dan hukum lain dalam masalah
sedekah, sehingga Ia menetapkan hukumnya dan membaginya pada delapan
bagian".
Seperti
halnya sabilillah dengan arti yang umum itu akan meliputi pemberian pada orang‑orang
fakir, miskin dan asnaf‑asnaf lain, karena itu semua termasuk kebajikan dan
ketaatan kepada Allah. Kalau demikian
apa sesungguhnya perbedaan antara sasaran ini dengan sasaran sesudah dan yang
sebelumnya ? Sesungguhnya Kalamullah
yang sempurna dan mu'jiz pasti terhindar dari pengulangan yang tidak ada
faedahnya. karenanya pasti yang
dimaksud disini adalah makna yang khusus, yang membedakannya dari sasaran‑sasaran
lain.
Makna
yang khusus ini tiada lain adalah jihad, yaitu jihad untuk membela dan
menegakkan kalimat Islam dimuka bumi ini.
Setiap jihad yang dimaksudkan untuk menegakkan kalimat allah termasuk
sabilillah, bagaimanapun keadaan dan bentuk jihad serta senjatanya.
Kemudian
Yusuf Al-Qaradhawy memperluas arti Jihad ini tidak hanya terbatas pada
peperangan dan pertempuran dengan senjata saja, namun termasuk juga segala
bentuk peperangan yang menggunakan akal dan hati dalam membela dan
mempertahankan aqidah Islam. Contoh :
"Mendirikan sekolah berdasarkan faktor tertentu adalah perbuatan shaleh
dan kesungguhan yang patut disyukuri, dan sangat dianjurkan oleh Islam, akan
tetapi ia tidak dimasukkan dalam ruang lingkup JIHAD. Namun demikian, apabila ada suatu negara
dimana pendidikan merupakan masalah utama, dan yayasan pendidikan telah
dikuasai kaum kapitalis, komunis, atheis ataupun sekularis, maka jihad yang
paling utama adalah mendirikan madrasah yang berdasarkan ajaran Islam yang
murni, mendidik anak‑anak kaum Muslimin dan memeliharanya dari pencangkokan
kehancuran fikiran dan akhlaq, serta menjaganya dari racun‑racun yang ditiupkan
melalui kurikulum dan buku‑buku, pada otak‑otak pengajar dan ruh masyarakat
yang disahkan di sekolah‑sekolah pendidikan secara keseluruhan.
Sebaliknya
tidak semua peperangan termasuk kategori sabilillah, yaitu peperangan yang
ditujukan untuk selain membela agama Allah, seperti halnya perang yang sekedar
membela kesukuan, kebangasaan, atau membela kedudukan.
Kemana dipergunakan Bagian Sabilillah di zaman
sekarang ?
‑ Membebaskan
Negara Islam dari hukum orang kafir
‑ Bekerja
mengembalikan Hukum Islam termasuk Jihad Fisabi-lillah, diantaranya melalui
pendirian pusat kegiatan Islam yang mendidik pemuda Muslim, menjelaskan ajaran
Islam yang benar, memelihara aqidah dari kekufuran dan mempersiapkan diri untuk
membela Islam dari musuh‑musuhnya.
Mendirikan percetakan surat khabar untuk menandingi berita‑berita yang merusak
dan menyesatkan ummat. Dll.
Demikian
saja yang dapat dibahas dari 8 golongan sasaran zakat. Berikut ini adalah
kesimpulan dari pembahasan mengenai persoalan distribusi zakat yang diperoleh,
apakah harus dibagi sama rata ke 8 golongan tsb, atau bisa ada kebijakan
lain. Setelah mendalami perbedaan
pendapat di antara para ulama dalam masalah ini, akhirnya Yusuf Al-Qaradhawy
berkesimpulan sbb:
1. Harta
zakat yang terkumpul mestilah dibagikan pada semua mustahik, apabila harta itu
banyak dan semua sasaran ada, kebutuhannya sama atau hampir sama. Tidak boleh ada satu sasaranpun yang boleh
dihalangi untuk mendapatkan, apabila itu merupakan haknya serta benar‑benar
dibutuhkan. Dan ini hanya berlaku bagi
Imam atau Hakim agama yang mengumpulkan zakat dan membagikannya pada mustahik.
2. Ketika
diperkirakan ada dalam kenyataannya semua (delapan) mustahik itu, maka tidak
wajib mempersamakan antara semua sasaran dalam pemberiannya. Itu semua hanya
tergantung pada jumlah dan pada kebutuhannya. Sebab terkadang ada pada suatu
daerah seribu orang fakir, sementara dari orang yang berhutang atau ibnu sabil
hanya sepuluh orang. Maka bagaimana
mungkin pembagian untuk sepuluh orang harus sama dengan orang yang seribu ? Karenanya kita melihat, yang paling tepat
dalam masalah ini adalah pendapat Imam Malik dan yang sebelumnya, yaitu Ibnu
Syihab, yang mendahulukan sasaran yang paling banyak jumlahnya dan kebutuhannya
dengan bagian yang besar.
3. Diperbolehkan memberikan semua zakat,
tertuju pada sebagian sasaran tertentu saja, untuk mewujudkan kemaslahatan yang
sesuai dengan syara' ‑ yang meminta pengkhususan itu ‑ sebagaimana halnya
ketika ia memberikan zakat kepada salah satu sasaran saja, iapun tidak
diwajibkan menyamaratakan pemberian itu pada individu yang diberinya. Akan tetapi boleh melebihkan antara yang satu dengan yang lain sesuai
dengan kebutuhan.
4. Hendaknya golongan fakir dan miskin adalah
sasaran pertama yang harus menerima zakat, karena memberi kecukupan kepada
mereka, merupakan tujuan utama dari zakat, sehingga Rasulullah saw tidak
menerangkan dalam hadis Muadz dan juga hadis lain selain sasaran ini: "
Zakat itu diambil dari orang yang kaya dan diberikan pada orang
fakir". Hal ini dikarenakan sasaran
ini membutuhkan perhatian yang khusus.
Tidak dibenarkan misalnya seseorang hakim mengambil harta zakat kemudian
dibelanjakan untuk tentara, dan membiarkan golongan yang lemah yang membutuhkan
dari golongan fakir miskin.
5. Hendaknya mengambil pendapat madzhab Syafii
dalam menentukan batas yang paling tinggi yang diberikan kepada petugas yang
menerima dan membagikan zakat itu, yaitu 1/8 dari hasil zakat, tidak boleh
lebih dari itu.
6. Apabila harta zakat itu sedikit, seperti
harta perorangan yang tidak begitu besar, maka dalam keadaan demikian itu zakat
diberikan pada satu sasaran saja, sebagaimana yang dikemukakan oleh an‑Nakha'i
dan Abu Tsaur, bahkan diberikan pada satu individu, sebagaimana dikemukakan
oleh Abu Hanifah, agar pemberian itu dapat mencukupi kebutuhan si
mustahik. Karena membagikannya harta
yang sedikit, untuk sasaran yang banyak atau orang yang banyak dari satu
sasaran, sama dengan menghilangkan kegunaan yang diharapkan dari zakat itu
sendiri. Hal ini lebih baik daripada
memberi kepada orang banyak, masing‑masing beberapa dirham. Pemberian itu tidak menyembuhkan dan tidak
mencukupi.
CARA MEMBAYAR ZAKAT
Untuk menghilangkan keragu-raguan dalam
pembayaran zakat, maka pada Bagian V, Yusuf Al-Qaradhawy membahas secara khusus
Cara Membayar Zakat yang mencakup bab-bab :
1. Hubungan pemerintah dengan zakat
2. Kedudukan niat dengan zakat
3. Menyerahkan harga zakat (bukan barangnya seperti halnya
zakat fitrah)
4. Memindahkan zakat ke tempat bukan zakat tersebut dikumpulkan
5. Mempercepat mengeluarkan zakat dan mengakhirkan
6. Pembahasan lain di sekitar pembayaran zakat.
HUBUNGAN PEMERINTAH DENGAN ZAKAT
Hubungan
pemerintah dengan zakat sangatlah erat, karena berdasarkan yang telah
dicontohkan Rasulullah SAW bahwa pemerintah mempunyai otoritas untuk memungut
dan mendistribusikan zakat dikalangan ummat Islam. Banyak para shahabat yang mendapat tugas
khusus dari Rasulullah sebagai petugas zakat untuk tiap-tiap kaum dan suku
bangsa yang telah masuk Islam, yaitu petugas yang memungut zakat dari orang
kaya dan mendistribusikannya kepada mustahiknya. Demikian pula halnya dilakukan oleh para
Khulafaur Rasyidin.
Atas
dasar ini para ulama berpendapat : Wajib
bagi pemerintah untuk menugaskan petugas zakat ini, karena di antara manusia
itu ada yang memiliki harta akan tetapi tidak mengetahui apa yang wajib
baginya; ada pula yang kikir sehingga wajib diutus orang untuk mengambil zakat
daripadanya. Adapun petugas tersebut
hendaklah petugas yang Muslim dan yang dijamin tidak akan berbuat zalim
terhadap harta zakat yang dikumpulkan.
Masyarakat berkewajiban membantu para penguasa dalam melancarkan urusan
ini, dalam rangka memperkokoh bangunan Islam dan memperkuat baitul-maal kaum
Muslimin.
Adapun
rahasia di balik itu semua adalah sbb :
1. Agar
dapat terciptanya jaminan bagi si fakir akan haknya untuk tidak diabaikan
begitu saja oleh orang kaya.
2. Si
fakir meminta kepada pemerintah, bukan dari pribadi-orang kaya, untuk
memelihara kehormatan mereka, serta memelihara perasaan dan tidak melukai
hatinya dari gunjingan dan kata-kata yang menyakitkan.
3. Dengan
tidak memberikan urusan ini pada pribadi-pribadi lebih memungkinkan distribusi
zakat yang lebih tepat, tidak terkonsentrasi pada sebagian fakir miskin
sedangkan sebagian lain terlantarkan.
4. Ada
beberapa sasaran zakat yang berhubungan dengan kemaslahatan kaum Muslimin
bersama, sehingga baik pengumpulannya maupun pendistribusiannya tidak bisa
dilakukan secara perorangan. Misalnya
dalam mengorganisasikan jihad fi sabilillah, mempersiapkan para da'i untuk
menyampaikan risalah Islam, dll.
5. Sesungguhnya
Islam adalah agama dan pemerintahan.
Untuk tegaknya pemerintahan ini dibutuhkan harta yang dengan itu
dilaksanakan syariat.
Baitul-mal Zakat
Dikarenakan
zakat mempunyai aturan khusus, penghasilan dan pengeluaran serta sasaran yang
tertentu, maka walaupun dikelola oleh pemerintah, mekanisme zakat ini tidak
boleh disatukan dengan program pemerintah lainnya yang bersifat umum. Oleh karenanya kaum Muslimin sejak dulu
membutuhkan baitul mal khusus untuk zakat, disamping adanya baitul-mal lainnya
yaitu : baitul-mal pajak dan upeti; baitul-mal untuk ghanimah dan rikaz; dan
baitul-mal untuk barang yang tidak bertuan.
Para fuqaha telah membagi harta yang wajib
zakat atas : harta zahir dan harta batin.
Harta zahir adalah harta yang dimungkinkan orang lain mengetahui secara
persis seperti; peternakan, pertanian.
Sedangkan harta batin adalah sebaliknya yang hanya dapat diketahui oleh
pemiliknya, seperti simpanan uang, dll.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para
ulama, mengenai apakah zakat dari kedua jenis harta ini harus diserahkan kepada
pemerintah. Ada yang mengatakan harus
keduanya, tapi ada yang mengatakan cukup zakat harta zahir saja, sedangkan
zakat harta batin diserahkan kepada individu untuk mendistribusikannya secara
langsung. Pendapat pertama merujuk apa
yang dilakukan Rasulullah, Abu Bakar dan Umar, sedangkan pendapat kedua meruju
apa yang dilakukan oleh Usman bin Affan, dimana saat itu harta kaum Muslimin
telah bertambah banyak dan ia melihat kemaslahatan untuk menyerahkan
pengeluaran zakat harta batin itu kepada pemiliknya, berdasarkan ijma' sahabat,
sehingga masing-masing pemilik harta tsb seolah-olah menjadi wakil dari
penguasa.
Diantara perbedaan pendapat yang ada dikalangan
ulama maupun mazhab yang ada, Yusuf Qardhawi menarik benang merah dalam dua
point yaitu :
1. Bahwa
di antara hak penguasa adalah menuntut rakyatnya untuk mengeluarkan zakat,
dalam harta apapun juga, baik harta zahir maupun harta batin, dan terutama bila
si penguasa mengetahui keadaan rakyat negaranya bermalas-malasan dalam
mengeluarkan zakat, sebagaimana yang telah diperintahkan Allah.
Perbedaan
pendapat di atas muncul pada kondisi si penguasa tidak memintanya. Adapun jika si penguasa meminta, maka zakat
harus diserahkan, berdasarkan ijma' ulama.
2. Apabila
Imam atau penguasa membiarkan urusan zakat dan tidak memintanya, maka tidaklah
gugur tanggungjawab zakat dari pemilik harta. Ini adalah masalah yang qath'i/pasti, yang
tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya.
Wajib bagi si pemilik harta untuk mengeluarkan sendiri kepada
mustahiknya, karena zakat merupakan ibadah dan kewajiban agama yang bersifat
pasti.
Dari
sini jelaslah bahwa yang menjadi pokok, adalah : penguasa itulah yang
mengumpulkan zakat harta, baik harta zahir maupun batin. Adapun bila terasa sulit mengumpulkan harta
batin, maka itu dapat diberikan kebebasan kepada si pemilik untuk mengeluarkan
zakatnya sendiri. Namun apabila rakyat
tidak melaksanakan kewajibannya, maka hendaklah penguasa sendirilah yang
mengumpulkan, sebagaimana pada asalnya.
Beberapa
ulama modern dalam masalah perzakatan cenderung untuk mengandalkan peranan
pemerintah dalam pengumpulan zakat dikarenakan dewasa ini :
1. Telah
banyak orang yang meninggalkan kewajiban zakat atas semua jenis hartanya, baik
yang zahir maupun yang batin. Hendaklah
para penguasa mengambilnya secara paksa.
2. Secara
umum jenis-jenis harta yang ada sekarang ini adalah harta zahir, yang bisa
diketahui oleh orang lain selain pemiliknya sendiri (misalnya simpanan di Bank
sudah dapat diketahui pihak lain dengan mudah).
Dengan
metode Qias terhadap suatu hal yang pernah dilakukan Rasulullah, Yusuf
Al-Qaradhawy berpendapat ada baiknya bila ketentuan zakat sebesar 1/4 atau 1/3
bagiannya diserahkan atas kesadaran pemilik harta untuk membagikannya sendiri
berdasarkan sepengetahuan dan pilihan mereka baik untuk kalangan kerabat maupun
tetangga yang tersembunyi.
Adapun
penguasa yang diperbolehkan memungut zakat adalah penguasa yang beragama Islam,
yang beriman dan berpegang teguh kepada ajaran Islam yang mereka rela Islam
sebagai suatu hukum, dan bahkan mereka berjihad di dalamnya.
Selanjutnya
terdapat pula perbedaan untuk pemerintahan Islam yang adil dan yang
zhalim. Jika pemerintahan Islam itu
berlaku zalim, maka ada yang tetap membolehkan secara mutlaq, ada yang melarang
secara mutlaq, dan ada yang melihat sejauh mana tingkat kezalimannya.
Setelah
membandingkan berbagai pendapat tsb, Yusuf Al-Qaradhawy mengambil pendapat
terkuat, bahwa adalah sah menyerahkan kepada penguasa zalim, apabila mereka
mengambilnya sesuai dengan persyaratan zakat.
Si Muslim tidak diperintahkan untuk mengeluarkannya kembali dalam bentuk
apapun, kecuali si penguasa mengambilnya bukan dengan nama zakat.
Yusuf
Al-Qaradhawy memilih untuk menyerahkan zakat pada penguasa jika si penguasa
masih menyampaikan pada mustahiknya dan mengeluarkannya tepat pada sasaran yang
sesuai dengan perintah syara', walaupun ia berlaku zalim dalam urusan-urusan
lain. Apabila ia tidak menempatkan zakat
tepat pada sasarannya, maka janganlah diserahkan padanya, kecuali kalau ia
meminta, maka tidak diperkenankan menolaknya, berdasarkan hadits-hadits dan
fatwa-fatwa sahabat yang mengungkapkan penyerahan zakat pada penguasa, walaupun
mereka zalim.
Sekian
dulu Ikhwan sekalian. Perlukah kita
mengutarakan niat kita setiap membayar zakat ?
Bolehkah zakat kita dihargakan ? dan bolehkah zakat kita dikirimkan ke
tempat lain sementara sekeliling kita masih ada yang membutuhkan ? Saksikanlah pentayangan berikutnya, Insya
Allah.
KEDUDUKAN
NIAT DALAM ZAKAT
Niat adalah yang membedakan antara ibadah dan
pengabdian dengan yang lain. Dengan
demikian niat disyaratkan dalam membayar zakat. Yang dimaksudkan disini adalah si muzakki
(pembayar zakat) meyakini bahwa apa yang dikeluarkan tersebut adalah zakat
hartanya, atau zakat harta orang yang dikeluarkan melalui dia (seperti
harta anak yatim dan harta orang gila).
Tempat niat adalah hati; karena tempat semua yang diitikadkan itu adalah
hati.
Seandainya ada penguasa yang mengambil harta
seseorang secara paksa dengan niat untuk mengambil zakatnya (yang memang
dibenarkan secara hukum) tapi seseorang (yang memang enggan membayar) tidak
meniatkan bahwa harta yang telah diambil itu adalah zakat, maka secara
perundangan zakat, kewajiban zakat orang tsb telah gugur dalam artian dia tidak
diwajibkan lagi berzakat, tapi dari segi pahala disisi Allah, orang tsb tidak
mendapatkan apa-apa.
Kapankah kita meniatkan zakat harta kita,
apakah pada saat kita memisahkan harta untuk zakat, atau pada saat
memberikannya kepada mustahik. Para
ulama berbeda pendapat disini dimana ada pula yang mengharuskan
kedua-duanya. Namun Yusuf
Al-Qaradhawy menyokong pendapat yang tidak mempersulit yaitu cukuplah bagi
si Muslim berniat secara umum saja pada waktu memisahkan zakat dari hartanya,
sehingga tidak perlu lagi bagi dia meniatkan setiap kali dia memberikan kepada
setiap mustahik yang menerima zakatnya.
MENYERAHKAN
HARGA ZAKAT
Apakah boleh kita menghargakan zakat kita
? Karena Rasulullah memerintahkan untuk
mengambil biji-bijian dari biji-bijian, unta dari unta, selain itu
dikhawatirkan harga yang digunakan tidak memihak kepada hak fakir miskin. Sebagian ulama mengatakan bahwa zakat harus
diserahkan sesuai dengan bentuk hartanya namun ulama lain memperbolehkan zakat
tersebut dihargakan, seperti yang pernah dilakukan sahabat.
Setelah mengkaji kemaslahatannya, Yusuf
Al-Qaradhawy akhirnya menyokong pendapat yang memperbolehkan, yaitu dengan
syarat bahwa adalah terlarang mengeluarkan harga zakat tanpa ada kebutuhan dan
tanpa ada kemaslahatan yang jelas (untuk semua pihak baik sipemberi, amil,
maupun mustahik).
MEMINDAHKAN
ZAKAT KE TEMPAT BUKAN PENGHASIL ZAKAT
Sebagaimana Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin
contohkan, yaitu dengan mengutus petugas-petugas zakat ke setiap daerah/negeri,
untuk memungut zakat dari orang-orang kaya dan memberikannya kepada yang miskin
di antara mereka, maka hendaklah zakat itu didistribusikan pada tempat
dimana zakat tersebut dikumpulkan.
Pemindahan zakat dari suatu daerah ke daerah lain, dalam keadaan
penduduk di daerah asal masih membutuhkannya, adalah menodai hikmat zakat yang
diwajibkan karenanya. Setiap kaum lebih
berhak terhadap zakatnya, sehingga mereka berkecukupan dengannya.
Dalam hal ini ulama bersepakat, bahwa zakat itu
harus dibagikan di daerah dimana zakat itu dikumpulkan. Jika penduduk setempat tidak lagi membutuhkan
zakat, maka zakat itu boleh dipindahkan ke penduduk lain. Namun demikian dalam kondisi tertentu, untuk
memperoleh kemaslahatan yang lebih baik, penguasa yang adil atau berdasarkan
hasil musyawarah, diperbolehkan memindahkan zakat ke tempat lain yang lebih
membutuhkan, walaupun di daerah asal masih membutuhkannya.
Demikian pula seorang Muslim, apabila ia
mengeluarkan sendiri zakatnya, ia diperbolehkan pula untuk mengirimkan zakatnya
ke tempat lain karena adanya kemaslahatan yang dianggap kuat (misalnya
dikirimkan kepada kerabatnya di kampung).
MEMPERCEPAT
MENGELUARKAN ZAKAT DAN MENGAKHIRKANNYA
Bersegera dalam mengeluarkan zakat adalah suatu
kebaikan yang sesuai pula dengan perintah Allah: "Bersegeralah kamu
sekalian pada amal perbuatan yang akan menyebabkan kamu mendapat ampunan dari
Tuhanmu dan syurga" (3:133).
Apalagi dikuatirkan kewajiban zakat ini akan dikalahkan oleh sifat kikir
dan hawa nafsu.
Sebagaimana yang kita ketahui sebelumnya bahwa
harta zakat itu terbagi dua; yang disyaratkan setahun, dan yang dikeluarkan
pada saat diterima. Untuk yang terakhir,
jelas kiranya, zakat dikeluarkan sesegera mungkin. Tapi apakah demikian pula untuk jenis harta
yang pertama, seperti peternakan, emas, perak, dll?
Sebagian besar fuqaha berpendapat untuk jenis
harta yang pertama sbb: apabila telah terdapat sebab wajib zakat, yaitu nisab
yang sempurna, maka boleh mendahulukan mengeluarkan zakat sebelum datang waktu
setahun, bahkan diperbolehkan mendahulukan untuk masa dua tahun atau
lebih.
Adapun mengakhirkan zakat adalah tidak boleh,
kecuali ada kemaslahatan yang ingin dicapai, misalnya karena menunggu orang
yang lebih membutuhkan, atau menunggu kerabat yang membutuhkan, atau jumlah
yang dikeluarkan masih sedikit sehingga tidak akan bermanfaat banyak bagi
mustahik, dll. Akan tetapi dia
bertanggung jawab apabila hartanya rusak atau hilang dalam masa menunggu tsb.
Selanjutnya kewajiban tidak gugur bila terlewat
satu tahun atau beberapa tahun (tidak ada pemutihan zakat). Demikian pula zakat tidak gugur dengan sebab
matinya si pemilik harta. Karena zakat
bukanlah ibadah badan, tapi ibadah harta yang terkait dengan hak orang lain.
BERBAGAI
PEMBAHASAN DI SEKITAR PEMBAYARAN ZAKAT
Apakah boleh mewakilkan dalam mengeluarkan zakat ?
Boleh. Namun demikian hendaklah tidak mewakilkannya
pada orang yang bukan Muslim, kecuali karena sesuatu kebutuhan, dengan syarat
orang itu terpercaya dan dapat menyampaikan sesuai dengan kehendak orang yang
mewakilkan.
Menampakkan zakat ketika mengeluarkan ?
Yang
utama dalam berzakat adalah menampakkannya pada waktu mengeluarkan, agar
dilihat dan diikuti orang dan agar tidak ada penilaian buruk atas orang
itu. Ini termasuk syiar islam. Seperti halnya shalat fardhu yang disunatkan
menampakkannya, dan sesungguhnya yang disunatkan menyembunyikannya itu adalah
shalat sunnat dan puasa sunat, juga sedekah sunat tentunya.
Apakah si Fakir perlu diberitahu bahwa
pemberian itu adalah zakat ?
Tidak
harus memberitahukan kepada si fakir ketika menyerahkan zakat atau sesudahnya,
karena mungkin akan menyakiti hatinya.
.
KEWAJIBAN LAIN DI LUAR ZAKAT
Berikut ini secara sangat ringkas disarikan
Bagian VIII dari buku Fikih Zakat karya Yusuf Al-Qaradhawy. Bab inilah yang akhirnya menyimpulkan bahwa
zakat itu hanya kewajiban minimal dari harta seorang Muslim, atau menurut
Ustadz Didin Hafidhuddin (penterjemah buku ini) zakat adalah batas kekikiran
seorang muslim. Sehingga adalah
salah kaprah bila dikatakan orang yang berzakat adalah orang yang dermawan,
karena sesungguhnya dia baru terlepas dari batas kekikirannya
Umumnya para ahli fikih berpendapat bahwa zakat
adalah satu-satunya kewajiban atas harta. Barangsiapa telah berzakat, maka
bersihlah hartanya dan bebaslah kewajibannya.
Dan ia pun tidak punya kewajiban lagi, bila zakat tekah ditunaikan,
kecuali sedekah sunat. Inilah pendapat
yang termasyhur di kalangan para ahli fikih periode muta'akhirin.
Namun demikian golongan lainnya sejak zaman
sahabat sampai masa tabi'in berpendapat bahwa dalam harta ada kekayaan ada
kewajiban lain selain zakat. Pendapat
tsb datang dari Umar, Abu Dzar, Aisyah, Ibnu Umar, Abu Hurairah, dll shahabat
dan para tabiin.
Dalil-dalil yang mereka gunakan antara lain :
1. QS
2:177, dimana pada ayat ini Allah mengajarkan tenang kebaikan hakiki dan agama
yang benar dengan mensejajarkan : *** (a) pemberian harta yang dicintai kepada
kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, musafir, orang yang meminta-minta dan
memerdekakan hamba sahaya,*** dengan (b) Iman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan
menepati janji, dll.
Point-point
dalam group (a) di atas : (1) bukannya
hal yang sunnah, tapi termasuk pokok-pokok yang fardhu, karena disejajarkan
dengan hal-hal yang fardhu dan (2) bukan termasuk zakat, karena zakat
disebutkan tersendiri juga.
2. Hadits-hadits
shahih mengenai hak tamu atas tuan rumah.
Perintah menghormati tamu menunjukkan wajib karena perintah itu dikaitkan
dengan iman, dan setelah tiga hari dianggap sebagai sedekah.
3. Ayat
Quran yang mengancam orang yang menolak memberi pertolongan kepada mereka yang
memerlukan, seperti halnya dalam surat Al Maun, dimana Allah mangaggap celaka
bagi orang enggan menolong dengan barang yang berguna bersamaan dengan orang
yang berbuat ria (yang dalam beberapa hadits selanjutnya diterangkan Al'Maun
tsb walaupun hanya berupa timba, dandang, atau kampak).
4. Dll.
Yusuf
Al-Qaradhawy sendiri termasuk orang yang menegaskan bahwa masih ada
kewajiban lain terhadap harta kita diluar zakat. Hal mana dibutuhkan untuk merealisasikan
sifat sayang-menyayangi, tolong-menolong, setia kawan, dan berbuat baik yang
diperintahkan oleh Quran dan Hadits.
Agar warga masyarakat dapat memperoleh tingkat hidup yang layak.
Apabila
hasil zakat dan pendapatan negara lainnya mencukupi untuk menutupi kebutuhan
mereka, maka Allah SWT tidak menuntut hak yang lain dari orang Mu'min untuk
para fakir miskin. Tetapi apabila itu
tidak mencukupi, maka wajib kepada mereka yang kaya untuk menjamin kebutuhan
mereka, baik dalam hubungan kerabat dekat, tetangga dan hubungan-hubungan
lainnya. Apabila sebagian mereka telah
menunaikan kewajiban ini atas dorongan iman mereka, maka gugurlah dosa dari
yang lain (Jadi dapat diartikan sebagai fardhu kifayah). Tapi kalau kewajiban ini tidak tertunaikan,
maka pemerintah atas nama Islam diwajibkan turun tangan untuk menanggulangi
keperluan fakir miskin ini yang diminta dari mereka yang kaya.
ZAKAT
DAN PAJAK
Zakat dan pajak, meski keduanya sama-sama
merupakan kewajiban dalam bidang harta, namun keduanya mempunyai falsafah yang
khusus, dan keduanya berbeda sifat dan asasnya, berbeda sumbernya, sasaran,
bagian serta kadarnya, disamping berbeda pula mengenai prinsip, tujuan dan
jaminannya. Sesungguhnya ummat Islam
dapat melihat bahwa zakat tetap menduduki peringkat tertinggi dibandingkan
dengan hasil pemikiran keuangan dan perpajakan zaman modern, baik dari segi
prinsip maupun hukum-hukumnya.
Untuk Bagian terakhir ini Yusuf Al-Qaradhawy menjelaskan sangat detil dalam 8
bab :
1. Hakekat pajak dan zakat
2. Asas teori kewajiban pajak dan zakat
3. Objek pajak dan zakat
4. Prinsip keadilan pajak dan zakat
5. Tarip tetap dan bertingkat pada pajak dan zakat
6. Jaminan pajak dan zakat
7. Pelaksanaan pajak disamping zakat
8. Apakah membayar pajak mencakup kewajiban zakat
HAKIKAT PAJAK DAN ZAKAT
Pajak
ialah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan
kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari
negara dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umumdi satu pihak
dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan
lain yang ingin dicapai negara.
Zakat
ialah hak tertentu yang diwajibkan Allah SWT terhadap kaum Muslimin yang
diperuntukkan bagi mereka, yang dalam Quran disebut kalangan fakir miskin dan
mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas nikmat Allah SWT dan untuk
mendekatkan diri kepadaNya, serta untuk membersihkan diri dan hartanya.
Dapat dipetik beberapa
titik persamaan antara zakat dan pajak :
1. Adanya unsur paksaan untuk mengeluarkan
2. Keduanya disetorkan kepada lembaga pemerintah (dalam zakat
dikenal amil zakat)
3. Pemerintah tidak memberikan imbalan tertentu kepada si
pemberi.
4. Mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan politik
disamping tujuan keuangan.
Adapun segi perbedaannya :
1. Dari segi nama dan etiketnya yang memberikan motivasi yang
berbeda. Zakat : suci, tumbuh. Pajak (dharaba) : upeti.
2. Mengenai hakikat dan tujuannya
Zakat
juga dikaitkan dengan masalah ibadah dalam rangka pendekatan diri kepada Allah.
3. Mengenai batas nisab dan ketentuannya.
Nisab
zakat sudah ditentukan oleh sang Pembuat Syariat, yang tidak bisa dikurangi
atau ditambah-tambahi oleh siapapun juga.
Sedangkan pada pajak bisa hal ini bisa berubah-ubah sesuai dengan polcy
pemerintah.
4. Mengenai kelestarian dan kelangsungannya
Zakat
bersifat tetap dan terus menerus, sedangkan pajak bisa berubah-ubah.
5. Mengenai pengeluarannya
Sasaran
zakat telah terang dan jelas. Pajak
untuk pengeluaran umum negara.
6. Hubungannya dengan penguasa
Hubungan
wajib pajak sangat erat dan tergantung kepada penguasa. Wajib zakat berhubungan dengan Tuhannya. Bila penguasa tidak berperan, individu bisa
mengeluarkannya sendiri-sendiri.
7. Maksud dan tujuan
Zakat
memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak.
Berdasarkan
point-point di atas dapatlah dikatakan bahwa "zakat adalah ibadat dan
pajak sekaligus". Karena sebagai
pajak, zakat merupakan kewajiban berupa harta yang pengurusannya dilakukan oleh
negara. Negara memintanya secara paksa,
bila seseorang tidak mau membayarnya sukarela, kemudian hasilnya digunakan
untuk membiayai proyek-proyek untuk kepentingan masyarakat.
Apa yang coba diterangkan dalam masalah
perpajakan dewasa ini telah dilaksanakan Islam jauh sebelumnya. Inilah syariat yang berasal dari Pembuat
Syariat yang Maha Tahu. Berikut ini
adalah salah satu bab dalam buku Yusuf Al-Qaradhawy yang mengupas hal tsb.
PRINSIP
KEADILAN ANTARA PAJAK DAN ZAKAT
Para ahli ekonomi keuangan menyerukan agar
dalam masalah perpajakan hendaknt tetap memegang prinsip dan kaedah yang dapat
menghalangi timbulnya penipuan dan kecurangan sehingga menepati prinsip
keadilan, disamping itu dapat mencapai sasaran yang tepat dengan tidak
memberatkan pihak wajib pajak disatu segi dan pihak pelaksana administrasi
keuangan di sisi lain. Hal ini ternyata
sudah diterapkan Islam dalam mekanisme zakat jauh sebelumnya.
Dikenal empat prinsip yang mesti diperhatikan
dalam soal perpajakan, yaitu : keadilan, kepastian, kelayakan dan ekonomis.
Tentang Keadilan
Ini merupakan prinsip pertama yang wajib
diperhatikan dalam setiap pajak yang dikenakan pada masyarakat. Prinsip yang sesuai dengan syariat Islam,
dimana Islam menuntutnya dalam segala hal.
Prinsip keadilan ini dijumpai pada :
1. Sama
rata dalam kewajiban zakat
Setiap
Muslim yang mempunyai satu nisab zakat adalah wajib zakat tanpa memandang
bangsa, warna kulit, keturunan atau kedudukan dalam masyarakat, laki-laki,
perempuan, pemerintah, yang diperintah, pemimpin agama, pemimpin negara, semua
sama.
2. Membebaskan
harta yang kurang dari nisab
3. Larangan
berzakat dua kali
Banyak
hadits yang menerangkan larangan ini.
Dalam studi perpajakan dikenal dengan nama : "Larangan Pajak
Double".
4. Besar
zakat sebanding dengan besar tenaga yang dikeluarkan.
Semakin
mudah memperoleh, semakin besar zakatnya, seperti halnya zakat pertanian ada
yang 10% dan 5%. Prinsip ini masih belum
begitu dihiraukan oleh para ahli keuangan.
5. Memperhatikan
kondisi dalam pembayaran
Dengan
juga memperhatikan besarnya pendapatan, beban keluarga, hutang-hutang yang
dimiliki, dipungut dari pendapatan bersih, dll.
6. Keadilan
dalam praktek
Islam
memberikan perhatian istimewa dan hati-hati terhadap pelaksana pemungut zakat
(amil), yaitu dengan persyaratan yang tinggi untuk menjadi amil, dan posisi
yang mulia bagi mereka, seperti hadits sbb : "Orang yang bekerja
memungut sedekah dengan benar adalah seperti orang yang berperang di jalan
Allah" (Hadits shahih).
Tentang Kepastian
Pengetahuan
para subjek pajak tentang kewajiban-kewajibannya hendaklah pasti, tak boleh ada
keraguan sedikitpun, sebab ketidakpastian dalam sistem pajak apapun sangat
membahayakan bagi tegaknya keadilan dalam distribusi beban pajak. Kepastian itu sangat erat hubungannya dengan
kestabilan pajak. Dalam mekanisme zakat
tidak diragukan lagi bahwa kaidah ini sangat jelas.
Tentang Kelayakan
Kesimpulan
prinsip ini ialah menjaga perasaan wajib pajak dan berlaku sopan terhadap
mereka, sehingga dengan sukarela mereka akan menyerahkan pajak itu tanpa ada
rasa ragu dan terpaksa karena suatu perlakuan yang kurang baik.
Dalam zakat hal ini sudah mendapat perhatian
seperti halnya :
* Perintah
untuk memungut zakat dari harta yang kualitasnya pertengahan dan melarang
memungut yang terbaik, misalnya ternak.
* Nabi
menyuuruh tukang taksir agar memperkecil taksiran terhadap tanaman dan
buah-buahan.
* Bolehnya
menangguhkan zakat karena ada satu sebab yang menghalangi, misalnya ketika
terjadi wabah kelaparan.
* Dll.
Tentang Faktor Ekonomis
Yang
dimaksudkan disini adalah ekonomis dalam biaya pemungutan pajak dan menjauhi
berbagai pemborosan. Jangan sampai
bagian besar dari pajak yang terkumpul hanya habis terserap oleh petugas
pajak.
Islam
sangat melarang pemborosan kepada harta pribadi seseorang, apalagi terhadap
harta kepunyaan umum terutama lagi terhadap harta zakat. Diceritakan, bagaimana para petugas zakat
berangkat untk mengumpulkan zakat, yang lalu dibagikan kepada yang berhak,
sehingga ketika mereka pulang pun mereka tidak membawa apa-apa lagi. Jatah untuk para amilpun di batasi (maksimal
1/8 bagian).
APAKAH
PAJAK DIWAJIBKAN DI SAMPING ZAKAT ?
Apabila Islam telah mewajibkan zakat sebagai
hak yang dimaklumi atas harta kaum Muslimin dan menjadikannya sebagai pajak
yang dikelola oleh pemerintah Islam, maka bolehkah pemerintah Islam mewajibkan
kepada orang kaya pajak-pajak lain disamping zakat untuk melaksanakan
kepentingan ummat dan menutupi pembiayaan umum negara ? Jawabnya boleh tapi dengan syarat.
Dalil-dalil yang memperbolehkan adanya
kewajiban pajak disamping zakat
1. Karena
jaminan/solidaritas sosial merupakan suatu kewajiban. Hal ini sudah kita kupas pada bagian yang
membahas adanya kewajiban lain di luar zakat.
2. Sasaran
zakat itu terbatas sedangkan pembiayaan negara itu banyak sekali.
Zakat
harus digunakan pada sasaran yang ditentukan oleh syariah dan menempati
fungsinya yang utama dalam menegakkan solidaritas sosial. Zakat tidak digunakan
untuk pembangunan jalan, jembatan dll.
Bila pemerintahan Islam dulu memperoleh pemasukan dari Kharaj (rampasan
perang) untuk membiayai keperluan-keperluan tsb, maka untuk saat ini Yusuf
Al-Qaradhawy menyokong pendapat para ulama yang berpendapat bahwa pemerintah
dapat memungut kewajiban pajak dari orang-orang kaya.
3. Adanya
kaidah-kaidah umum hukum syara' yang memperbolehkan. Misalnya kaidah "Maslahih Mursalah"
(atas dasar kepentingan). Kas yang
kosong akan sangat membahayakan kelangsungan negara, baik adanya ancaman dari
luar maupun dari dalam. Rakyat pun akan
memilih kehilangan harta yang sedikit karena pajak dibandingkan kehilangan
harta keseluruhan karena negara jatuh ke tangan musuh.
4. Adanya
perintah Jihad dengan harta
Islam
telah mewajibkan ummatnya untuk berjihad dengan harta dan jiwa sebagaimana
difirmankan dalam Al Quran 9:41, 49:51, 61:11, dll. Maka tidak diragukan lagi bahwa jihad dengan
harta itu adalah kewajiban lain di luar zakat.
Di antara hak pemerintah (ulilamri) dari kaum Muslimin adalah menentukan
bagian tiap orang yang sanggup memikul beban jihad dengan harta ini.
5. Kerugian
yang dibalas dengan keuntungan
Sesungguhnya
kekayaan yang diperoleh dengan pajak akan digunakan untuk segala keperluan umum
yang manfaatnya kembali kepada masyarakat seperti; pertahanan dan keamanan,
hukum, pendidikan, kesehatan, pengangkutan, dll.
Syarat-syarat diperbolehkannya pajak di luar
zakat
Pajak
yang diakui dalam sejarah Islam dan dibenarkan sistemnya harus memenuhi
syarat-syarat sbb:
1. Harta itu benar-benar dibutuhkan dan tak ada sumber lain. Tidak diperbolehkan memungut sesuatu dari
rakyat selagi dalam baitul-mal masih terdapat kekayaan.
2. Adanya pembagian pajak yang adil.
Pengertian
adil tidak harus sama rata bebannya.
3. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan ummat
bukan untuk maksiat dan hawa nafsu.
Pajak
bukan upeti untuk para raja dalam rangka memuaskan hawa nafsu, kepentingan
pribadi dan keluarga mereka, atau kesenangan para pengikut mereka, tetapi harus
dikembalikan untuk kepentingan masyarakat luas.
4. Adanya persetujuan para ahli dan cendikia.
Pemerintah
tidak bertindak sendirian dalam hal mewajibkan pajak, menentukan besarnya serta
memungutnya tanpa adanya persetujuan dari hasil musyawarah para ahli atau
cendikia dari kalangan masyarakat (dewan perwakilan rakyat).
Ternyata
pajak sangat dimungkinkan keberadaanya di luar kewajiban zakat. Dengan demikian diskusi di isnet tahun-tahun
yang lalu yang ingin memperbesar persentase zakat untuk mengimbangi besarnya
pengeluaran pemerintah adalah tidak beralasan.
Zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap (lihat posting-posting
sebelumnya). Tinggal satu posting lagi
untuk mengakhiri pembahasan Pajak dan Zakat.
Terdapat beberapa pendapat yang mencoba
mengawinkan antara zakat dan pajak, dan memungkinkan adanya substitusi antara
pajak dan zakat. Sehingga bagi kita yang
telah rajin membayar pajak tidak perlu lagi membayar zakat, benarkah ? Hal ini diulas panjang lebar oleh Yusuf
Al-Qaradhawy di bagian akhir buku beliau.
APAKAH
CUKUP MEMBAYAR PAJAK SAJA TANPA MEMBAYAR ZAKAT
Itu adalah suatu pertanyaan yang sering muncul
diantara kita. Yang saat ini merasakan
terbebani dua kewajiban sekaligus.
Namun setelah mengkaji beberapa perbedaan
antara pajak dan zakat maka dapat dimengerti bahwa zakat tidak dapat digantikan
oleh pajak, walaupun sasaran zakat dapat dipenuhi sepenuhnya oleh pengeluaran
dari pajak. Zakat berkaitan dengan
ibadah yang diwarnai dengan kemurnian niat karena Allah. Ini adalah tali penghubung seorang hamba
dengan khaliqnya yang tidak bisa digantikan dengan mekanisme lain apapun. Zakat adalah mekanisme yang unik Islami,
sejak dari niat menyerahkan, mengumpulkan dan mendistribusikannya. Maka apapun yang diambil negara dalam konteks
bukan zakat tidak bisa diniatkan oleh seorang Muslim sebagai zakat hartanya. Demikian pula setiap pribadi Muslim wajib
melaksanakannya walaupun dalam kondisi pemerintah tidak memerlukannya atau
tidak mewajibkannya lagi.
Adalah suatu hal yang sangat berbahaya, bila
kita diperbolehkan untuk mengganti zakat dengan pungutan-pungutan lainnya,
niscaya hukum wajib zakat akan hilang
dan sedikit demi sedikit akan sirna dari kehidupan setiap orang, seperti hal
telah lenyapnya zakat dari undang-undang pemerintahan saat ini.
Sesungguhnya zakat tidak dapat dicukupi oleh
pajak. Inilah pendapat yang akan
menyelamatkan agama seorang Muslim, yang akan melestarikan kewajiban tersebut
dan mengekalkan hubungan antara kaum Muslimin melalui zakat, sehingga zakat
tidak dapt diganti dengan nama pajak dan tak dapat dihilangkan begitu saja.
Benar orang Islam itu dibebani kesulitan dalam
menanggung beban harta yang sebagian ini tidak dapat dipikulnya. Akan tetapi ini adalah kewajiban iman dan
tuntutan Islam, khususnya dalam masa-masa cobaan (fitnah) yang membuat bimbang
orang-orang penyantun dan orang yang memegang agama seperti orang yang
menggenggam bara api.
Akhirnya kaum Muslimin berkewajiban untuk
bekerja dan berjuang untuk memperbaiki penyimpangan-penyimpangan, meluruskan
peraturan yang bengkok dan mengembalikannya pada jalan yang lurus dalam hukum
Islam. Tanpa usaha tersebut orang Muslim
akan dirugikan oleh harta, jiwa dan sosial, karena ia akan hidup dalam
masyarakat yang membuatnya hidup terbelakang tanpa ada yang menolongnya, dan
diam tanpa berbuat apa-apa. Dan ini
merupakan cobaan umum dalam segala sektor kehidupan yang dituntut oleh Islam
terhadap putera-puteri Islam agar tetap berpegang teguh pada syariat Islam,
bukan hanya dalam soal zakat saja.
ZAKAT
DALAM ISLAM ADALAH SISTEM BARU DAN UNIK
Dari celah-celah seluruh bagian dan bab pada
buku ini jelaslah kepada kita bahwa zakat diwajibkan mula-mula di Madinah dan
diterangkan batas-batas serta hukumnya, zakat adalah suatu sistem baru yang
unik dalam sejarah kemanusiaan. Suatu
sistem yang belum pernah ada pada agama-agama samawi juga dalam
peraturan-peraturan manusia. Zakat
mencakup sistem keuangan, ekonomi, sosial, politik, moral dan agama sekaligus.
Zakat adalah sistem keuangan dan ekonomi karena
ia merupakan pajak harta yang ditentukan.
Sebagai sistem sosial karena berusaha menyelamatkan masyarakat dari
berbegai kelemahan. Sebagai sistem politik karena pada asalnya negaralah yang
mengelola pemungutan dan pembagiannya.
Sebagai sistem moral karena ia bertujuan membersihkan jiwa dari kekikiran
orang kaya sekaligus jiwa hasud dan dengki orang yang tidak punya. Akhirnya sebagai sistem keagamaan karena
menunaikannya adalah salah satu tonggak keimanan dan ibadah tertinggi dalam
mendekatkan diri kepada Allah.
Zakat itu sendiri menjadi bukti bahwa ajaran
Islam itu dari Allah SWT. Suatu sistem
yang adil, yang tidak mungkin dihasilkan oleh Rasulullah Muhammad SAW yang
ummi.
Inilah zakat yang disyariatkan Islam meskipun
banyak kaum Muslimin pada masa akhir-akhir ini tidak mengetahui hakikatnya dan
mereka melalaikan membayarnya, kecuali mereka yang disayangi Tuhannya dan
jumlahnya sedikit.
Banyak pendapat baik yang dari kalangan Muslim
maupun non Muslim, yang mengagumi indahnya konsepsi zakat sebagai pemecahan
problematika sosial.
Jika seandainya kaum Muslimin melaksanakan
kewajiban ini dengan baik, tentu di kalangan mereka tidak akan ditemukan lagi
orang-orang yang hidupnya sengsara. Akan
tetapi kebanyakan dari mereka telah melalaikan kewajiban ini, mereka
mengkhianati agama dan ummatnya, akibatnya nasib Ummat Islam sekarang ini lebih
buruk dalam kehidupan ekonomi dan politiknya dari seluruh bangsa-bangsa lain di
dunia ini.
Kekayaan, kebesaran dan kemuliaan Ummat Islam
telah sirna. Kini mereka menjadi
tanggungan penganut agama lain, sehingga pendidikan anak-anaknya pun diserahkan
ke sekolah-sekolah missi kristen atau missi atheis. Bila mereka ditanya mengapa tidak mendirikan
sendiri sekolah itu, mereka berkata: "kami tidak mempunyai biaya untuk
mendirikannya. Maka sebanarnya mereka
tidak memperoleh dari agama; akal fikiran, cita-cita dan ghairah yang dengan
itu mereka dapat melakukannya. Mereka
menyaksikan para penganut agama lain yang berkorban untuk mendirikan
sekolah-sekolah, organisasi-organisasi sosial dan politik, padahal tidak
disuruh oleh agama mereka, tapi mereka diharuskan oleh akal fikiran dan
ghairahnya terhadap agama dan kaumnya.
Tapi pada kaum Muslimin ghairah itu telah tidak ada. Mereka rela menjadi beban dan tanggungan
orang. Mereka telah meninggalkan
agamanya sendiri, akibatnya mereka kehilangan dunianya sesuai dengan firman
Allah : "Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah,
lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik"
(59:9).
Yang menjadi kewajiban bagi para da'i saat ini
ialah mulai mengadakan usaha membina mereka yang masih ada rasa keagamaannya
dengan mendirikan organisasi pengumpulan zakat.
Zakat yang dapat digunakan untuk konsolidasi ummat, memberantas
kemiskinan, memperlancar aktivitas da'wah menahan agresi dari kaum kuffar. Bila
seluruh kaum Muslimin menunaikan zakat dan digunakan secara teratur, maka Islam
akan mampu untuk mengembalikan kejayaannya.
Ikhwan para isneter sekalian. Demikian berakhirlah Serial Mengaji
Zakat. Tidak akan ada ujian tertulis
dari Ustadz Yusuf. Tapi Allah akan
menguji kita secara praktek. Setelah
lebih jauh memahami kewajiban zakat, Insya Allah kita akan menjadi
pionir-pionir Muslim yang dengan sikap taat melaksanakan perintah ini.
Lebih jauh lagi, bisakah kita berbuat sesuatu
untuk meluaskan gerakan zakat ini, dengan menyadarkan orang-orang di sekitar
kita; keluarga, teman sejawat, tetangga dll.
Hal ini sangat mendesak.
Memasyarakatkan kewajiban zakat bukan lagi sekedar tanggung jawab para
ulama dan mubaligh, tapi adalah tanggung jawab kita semua yang telah mengetahui
dan menjalankan kepada mereka yang belum mengetahui dan menjalankannya.
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk
ummat. Banyak kerja dalam masalah
perzakatan ini yang menunggu sambutan Ikhwan sekalian. Menjajagi, merumuskan dan membuat pola
mekanisme pengumpulan dan pendistribusian zakat yang effisien dan effektif,
yaitu pola yang akan diterapkan dalam skala kecil maupun besar; membuat panduan yang lengkap dan jelas dalam
perhitungan zakat; juga yang tidak kalah
pentingnya merangsang pengajian-pengajian zakat dimana saja agar ummat Islam
dimana saja senantiasa termotivasi dalam menjalankan rukun Islam ketiga ini,
dll.
Semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita
semua, dan meridhoi aktivitas kita.
Amiin.
Wassalamu'alaikum Wr Wb
Abu Azka, Lukman Mohammad Baga
Dept. of Agr. Economics and
Business, Massey University
Palmerston North, New Zealand
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar